Mohon tunggu...
Feny Livia Manjorang
Feny Livia Manjorang Mohon Tunggu... Lainnya - masih beginner.

menulis = menegur diri sendiri. mari saling menegur namun tetap mengasihi:-)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Curhat Justru Dihakimi, Kenapa?

14 Februari 2020   23:40 Diperbarui: 14 Februari 2020   23:53 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERNAHKAH kamu merasakan ketika curhat kepada orang lain, bukannya empati yang kamu dapatkan, melainkan perasaan dituduh, dihakimi atau dipersalahkan. Kamu merasa menyesal kejujuran, ketulusanmu justru dianggap sebuah aib.

Aku pernah mengalami hal seperti itu. Suatu waktu, aku curhat kepada seorang teman dekat karena sudah akrab begitu lama. Aku berani menceritakan banyak hal kepadanya, mulai dari masalah putus cinta, kegagalan relasi, hingga momen di mana aku merasa jatuh ke titik terendah dalam hidupku.

Tetapi yang terjadi, semakin aku bercerita semakin diriku merasa terintimidasi terhadap respon yang diberikan temanku itu. Acap kali, temanku itu menanggapi dengan kalimat, "kok bisa?" Ia seperti tidak bisa menerima apa yang kuceritakan itu.

Ia justru menjustifikasiku, padahal sebelum mencurahkannya kepada dia, aku bahkan harus bergumul dengan diriku, menghadapi nuraniku. Tetapi ia seakan tidak mengerti perasaanku.

Ia tidak berusaha menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik, sebagai sahabat bagiku. Aku merasa telah bercerita dengan orang yang salah dan orang yang justru akan membongkar aibku, setiap waktu.

Respons-respons nirempati itu, terus terang turut membentuk karakterku. Aku lama-lama menjelma menjadi orang yang mudah menjustifikasi orang lain. Aku merasa tidak ada orang yang mengerti perasaanku. Aku menganggap, tak seorang pun mengerti diriku. Aku merasa dihakimi, ditolak dan diabaikan.

Perasaan tertuduh itu berlangsung lama, mengendap hingga mengkristal. Jatuhnya, aku berubah jadi victim blaming, hakim mental,  dan menyukai pertengkaran. Padahal jika dipikir ulang, aku tidak bisa memprediksi harus bertingkah laku seperti apa saat takut, marah dan sedih.

Aku merasa semua masukan orang lain serasa irrasional, meski mereka meyakini pendapat mereka justru masuk akal. Aku tetap bersikukuh bahwa jika posisi kami ditukar, belum tentu mereka bisa serasional saat merespon ceritaku. Aku menduga, mereka akan bertindak sama dengan yang kulakukan.

Suatu ketika aku membaca artikel yang mengulas persis seperti yang kualami. Bahwa apa yang terjadi di antara diriku dengan orang lain yang gagal menjadi pendengar yang baik ternyata ada penjelasan ilmiahnya. Bahwa respons nirempati itu tidak lain adalah adanya Empathy Gap yang harus dikendalikan oleh setiap manusia tatkala berelasi dengan sesamanya.

Lebih gamblang, situs efectiviology.com menjelaskan, kesenjangan empati menjadi jawaban, mengapa kita gagal memahami paradigma orang lain. Kesenjangan itu dilatari oleh bias nalar.

Selain bias nalar, kesenjangan empati juga memicu orang sulit membayangkan perasaan orang lain bagaimana reaksinya terhadap perbedaan sudut pandang dari kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun