Apa yang kamu pilih Fen, nonton dulu atau baca bukunya?
Saat mendapat pertanyaan seperti itu, saya akan lebih memilih nonton dulu film atau drama. Alasannya simple, karena kalau saya baca buku (novel atau komik) yang ada bikin kecele hehe. Maksudnya, apa yang saya baca akan jauh berbeda interpretasinya ketika buku tersebut diangkat menjadi sebuah tayangan.
Kecelenya ini bisa berlapis, karena biasanya ada hal-hal detail yang dihilangkan atau diubah. Nah, ini bisa membuat mood ikut berubah pula. Â
"Lho kok ceritanya jadi beda?"
Mungkin dari satu sisi, perbedaan isi antara film dan buku bukanlah sebuah kesalahan, melainkan hasil dari proses adaptasi kreatif yang mempertimbangkan berbagai faktor. Tapi, tetep saja sih nuansanya berbeda.
Nah, kemungkinan perbedaan isi film/drama dengan buku dapat terjadi, karena:
1. Durasi Waktu Terbatas
Sudah terbayang pastinya ketebalan novel bisa ratusan halaman. Contoh paling mudah untuk dilihat yaitu novelnya Harry Potter karya JK Rowling maupun karya-karya Dan Brown. Untuk membaca novel ini bisa menghabiskan waktu berhari-hari.
Namun, ketika diadaptasi menjadi sebuah film, dalam durasi 1,5 sampai 2 jam lebih bisa tuntas dilakukan. Pemangkasan waktu tersebut, memungkinkan terjadi dilakukan oleh sutradara atau penulis skrip (skenario) dalam hal memotong plotnya, karakter pemain, atau detailnya, sehingga tayangan tetap padat buat disimak.
Misalnya dalam novel Harry Potter (buku ketiga: Penjara Azkaban) ada mengisahkan tentang Professor Lupin yang menyiapkan tantangan untuk para siswanya seperti melewati kolam Grindylow, menyebrangi lubang-lubang yang dihuni oleh Red Caps, melintasi rawa dengan mengabaikan petunjuk dari Hinkypunk, lalu melawan boggart di dalam bagasi. Sayangnya ketika menjadi film, hanya adegan melawan boggart yang ditampilkan.
2. Perubahan Karakter Tokoh
Kalau masih ingat dengan drama Korea "The Trauma Code: Heroes on Call" yang rilis tahun 2025, di mana ada dokter Baek Kang Hyuk yang diperankan oleh Ju Ji Hoon, ternyata dalam cerita karya Hansanleega dan Hongbichira di Webtoon berjudul (the Trauma Code) Trauma Center, karakter dokter Baek pada hari pertama datang ke Hankuk University Hospital ada adegan dia berada di luar rumah sakit dan memandang kagum terhadap rumah sakit tersebut. Sayangnya di dalam drama, hal ini tidak ada.
Begitu juga dengan karakter Menteri Kesehatan, di dalam webtoon menterinya adalah bapak-bapak alias pria bernama Choi Pil Du, sedangkan dalam drama menterinya adalah wanita (yaitu Kang Myeong-Hui).
3. Kreativitas yang Berbeda Rasa
Antara penulis buku/novel dengan sutradara dan penulis skenario tentunya memiliki kreativitas yang berbeda rasa. Mereka mungkin ingin mengeksplorasi tema dengan teknik yang berbeda, dan bisa pula mengubah ending cerita agar lebih dramatis.
Hal ini bisa dilihat dari film Angels and Demons yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dan Brown, di mana pada buku karakter Camerlango Patrick Mc Kenna dideskripsikan amat jahat (layaknya demons), ini berbeda dengan tampilan di film yang diperankan oleh Ewan McGregor itu, tidak begitu terlihat jahat, malah tampak kalem menurut saya.
Begitupula untuk bagian ending dari karakter Camerlango ini, di dalam buku ia mengorbankan diri dari atap st. Peter lalu wafat dengan damai. Berbeda dengan film, ia mengorbankan diri menggunakan minyak lampu sebagai bahan bakar dan dalam keadaan menjerit.
Penutup
Dari tiga contoh perbedaan di atas itulah, saya cenderung untuk menonton lebih dulu sebuah karya baru membaca buku/komiknya, seperti yang saya lakukan saat nonton drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call. Sebab ketika sudah membaca cerita lebih dulu, saya akan punya persepsi sendiri tentang cerita tersebut. Namun, ketika dibuat sebuah tayangan dan ternyata berbeda dengan apa yang saya bayangkan sesuai cerita di buku, tentunya akan kurang gereget dirasakan.
Perbedaan film yang diadaptasi dengan novel, memang bisa jadi suatu hal yang unik dan wajar memang, karena ada banyak pertimbangan entah itu karena keterbatasan dana produksi untuk membuat visual yang serupa dengan penggambaran di buku, lokasi syuting yang jauh, penyederhanaan narasi yang dibuat, dan juga sulit menemukan karakter tokoh yang pas sesuai dengan buku, seperti karakter Hermione Granger yang diperankan oleh Emma Watson di film Harry Potter yang kurang sesuai dengan deskripsi dalam novel, karena Emma Watson terlalu cantik, sedangkan karakter Hermione seharusnya biasa saja dengan memiliki gigi depan dan banyak yang mengejeknya.
Begitulah seninya dalam berkarya berupa visual (film/drama) dengan narasi (buku), akan ada perbedaan yang terjadi. Tinggal kitanya saja sebagai penonton atau pembaca menyikapinya dengan baik, bisa pilih yang mana lebih dulu untuk disimak, sehingga tetap bisa menikmati sebuah karya seni dengan menyenangkan, ya gak sih?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI