Mohon tunggu...
Felix Darmawan
Felix Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Fino Alla FIne Forza Juventus. FEUI '15

Selanjutnya

Tutup

Bola

Grazie King Arturo!(?)

26 Juli 2015   15:44 Diperbarui: 26 Juli 2015   15:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bursa transfer dalam sepak bola selalu menyajikan drama tersendiri bagi para penikmat olahraga ini, karena tidak hanya dalam perebutan piala di akhir musim saja yang direbut oleh beberapa klub unggulan. Tetapi, dalam beberapa momen klub juga sudah mulai berkompetisi lebih awal dalam perburuan pemain incaran yang sama dan pasti ada rasa “kemenangan” jika pemain incarannya menolak pinangan klub lain dan menuju klub tersebut. Selain itu, bursa transfer juga tidak hanya soal perpindahan pemain dari klub satu ke klub lainnya. Tetapi lebih dari itu, bisa dirasakan bagaimana suatu emosi yang tercampur aduk ketika seorang legenda di klub lamanya (yang juga membina dan membesarkan namanya) memutuskan hijrah untuk mencari pengalaman baru, pulang ke kampung halaman bagi pesepakbola yang telah lama merantau, sampai ketika jasanya sudah tidak dibutuhkan lagi oleh klub.

Atau jika pemain itu bukan produk akademi klub itu sendiri dan bermain dengan klub dalam renggang waktu pendek hingga menengah, kadang rasa emosi (dalam artian positif) juga muncul tergantung seberapa besar kontribusi pemain semasa membela klub yang ditinggalkannya itu.

Jika berbicara tentang hengkangnya Steven Gerrard, Xavi Hernandez, maupun Iker Casillas sudah pasti akan meninggalkan kesan mendalam di dalam benak Kopites, Cules, hingga Madridista. Karena mereka lahir dan juga besar di klub yang sama. Tetapi sayang, untuk mengakhiri karir mereka, justru berada di luar “rumah”. Terlebih untuk San Iker, yang awalnya mengumumkan perpisahan kepada pers seorang diri tanpa ada jajaran direksi Real Madrid. Sungguh getir (berdasarkan contoh Iker Casillas dan jika menengok sedikit kebelakang ada sang Pangeran Bernabeu, Raul Gonzales) melihat keadaan sepakbola modern (terutama klub kaya) yang saat ini mengagungkan nilai-nilai kapitalis dibanding dengan menjaga para loyalis yang memiliki pengabdian yang tidak bisa dibilang kecil kepada klub.

Mereka yang datang, ikut bertarung, lalu hengkang

Para Juventini dikejutkan dengan hengkangnya 3 pilar utama Juventus dalam beberapa musim belakangan. Kepergian Andrea Pirlo yang berlabuh di liga Amerika Serikat, bersama New York FC, Carlos Tevez yang pulang kampung ke Argentina untuk membela klub awal karirnya, Boca Juniors.. Yang teranyar, ada Arturo Vidal yang tinggal menunggu peresmian untuk hijrah ke Bayern Munchen yang dimaksudkan menambal kepergian Bastian Schweinsteiger ke Manchester United.

Mereka bertiga memiliki perbedaan dengan ketiga pemain yang sudah disebut terlebih dahulu. Ketiga nama yang anyar tidak berasal dari daerah asal klub mereka (Turin, Italia), juga tidak mendapatkan ilmu dasar sepakbola dari tim primavera Juventus dan yang terakhir rentang waktu Andrea Pirlo (bergabung sejak tahun 2011), Carlos Tevez (2013) dan Arturo Vidal (2011) yang sangat tidak sebanding dengan Steven Gerrard, Xavi Hernandez dan Iker Casillas yang sampao belasan tahun membela klubnya masing-masing.

Tetapi, dalam waktu yang singkat itulah mereka (Pirlo, Tevez –dan sebentar lagi Arturo Vidal-) mengembalikan hegemoni Juventus di Italia pasca skandal calciopoli yang tidak hanya pencopotan dua gelar scudetto terakhir setelah terungkapnya skandal pada 2006 tetapi juga mereduksi komposisi pemain bintang Juve kala itu seperti Fabio Cannavaro yang pindah ke Real Madrid, Zlatan Ibrahimovic ke Inter Milan, Lillian Thuram dan Gianluca Zambrotta yang keduanya membela Barcelona.

Sejak tahun 2011 yang merupakan musim pertama Andrea Pirlo dan Arturo Vidal (lalu Carlitos menyusul dua tahun kemudian) di bawah asuhan Antonio Conte berhasil merebut gelar scudetto dengan status the invicibles. Lalu, keberlangsungan mereka di Turin ditutup dengan manis karena kembali merengkuh juara Serie A untuk yang keempat kalinya secara beruntun, mendapat gelar Coppa Italia sejak tahun 1995 dan yang mengejutkan banyak pihak (termasuk saya dan mungkin rekan-rekan Juventini yang lain)bisa menembus babak final Liga Champions Eropa di bawah kendali Max Allegri yang pada awal penunjukannya sebagai pengganti Antonio Conte mendapatkan banyak reaksi negatif dari Juventini.

Tetapi, setelah menjalani musim yang cukup baik di tahun 2014/2015, Kabar kepindahan Vidal ke Bayern Munchen seharga 35 juta euro plus bonus kian kesini kian jelas, tinggal menunggu pengumuman resmi saja dari kedua klub.

Arturo Vidal yang dinobatkan sebagai pemain terbaik Copa America tahun 2015 lalu merupakan pemain yang sangat versatile (serba bisa). Vidal pada awal karirnya di klub Chile, Colo-Colo cukup lihai bermain sebagai bek sayap maupun gelandang tengah. Lalu sejak di Juventus, Arturo memainkan role baru, yakni sebagai false number 10 (entahlah istilah ini sudah ada atau sama sekali baru) dalam pake 4-3-1-2.

 Seperti pertandingan melawan Real Madrid di kedua leg semifinal UCL, Vidal memainkan posisi sebagai false number 10 karena posisi di atas board berada di belakang striker (Alvaro Morata da Carlos Tevez) yang di Italia dikenal sebagai dengan trequartista.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun