Sejak terbunuhnya Presiden Haiti Jovenel Moise pada bulan juli 2021, konflik bersenjata non-internasional di Haiti memburuk dengan cepat yang dikarenakan kelompok bersenjata telah menguasai sebagian besar wilayah Haiti dan telah menguasai ibu kota Haiti yaitu Port Au Prince. (ICG,2025:I) Pada bulan September 2025, Pemerintah Haiti menggunakan pesawat nirawak yang memuat peledak (kamikaze drone) untuk eksekusi King Djouma yang diduga merupakan ketua geng Viv Ansanm yang saat ini menguasai Port Au Prince. (Al Jazeera, 2025) Sayangnya serangan kamikaze drone yang ditujukan di wilayah Cite Soleil tidak hanya eksekusi King Djouma, namun turut eksekusi 11 warga sipil dimana delapan diantaranya adalah anak-anak. (Al Jazeera, 2025)
Tragedi tersebut menimbulkan pertanyaan hukum: bagaimana legalitas tindakan Pemerintah Haiti dalam meluncurkan serangan berdasarkan prinsip Precautions in attack & prinsip Proportionality in attack? Tulisan ini akan terdiri oleh pembahasan terkait prinsip Precautions in attack dan Proportionality in attack dan akan dilanjutkan dengan membahas terkait tindakan Pemerintah Haiti dalam upaya penyerangan terhadap King Djouma. Tulisan ini akan ditutup dengan rekomendasi oleh Penulis.
Customary International Humanitarian Law (CIHL) merupakan salah satu sumber hukum kebiasaan (customary) yang mengikat seluruh negara. (Melzer, 2025:24) CIHL memuat dua prinsip yaitu terkait Proportionality in attack (rule 14) dan Precaution in attack (rule 15). Proportionality in attack adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa serangan yang diperkirakan dapat mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, kerusakan pada objek sipil, atau kombinasi dari hal hal tersebut yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan tersebut dilarang. (CIHL 14) Precaution in attack merupakan sebuah prinsip yang ada dalam rule 15 CIHL yang mengatur bahwa diperlukannya tindakan pencegahan dan perhatian untuk menghindari dan meminimalkan hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, dan kerusakan pada objek sipil. (CIHL 15) Â
Dalam tragedi di Haiti, penyebab banyaknya korban sipil dikarenakan King Djouma sedang merayakan pesta ulang tahunnya dan sedang membagikan hadiah dan uang kepada anak-anak yang hadir di pestanya sayangnya saat sedang merayakan pesta tersebut drone tersebut menyerang yang berakibat pada meninggalnya delapan anak anak dan total sepuluh orang dewasa. (Robles,2025) Serangan tersebut pada akhirnya tidak melukai personel bersenjata sama sekali, sehingga seluruh korban dalam serangan tersebut merupakan warga sipil yang berada dalam jangkauan serangan drone tersebut. (NBC,2025) Melihat situasi di Haiti dimana adanya konflik diantara diantara Pemerintah Haiti dengan geng bersenjata yang terorganisasi yaitu G-Pep & G-9. (Buschshluter, 2024) Adanya konflik bersenjata yang berkepanjangan dan berskala besar antara negara dan kelompok terorganisir maka konflik yang terjadi di Haiti memenuhi kriteria Non-International Armed Conflict (NIAC) sebagaimana disebutkan dalam paragraf 70 jurisprudensi International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) dalam The Prosecutor V Dusko Tadic. Dalam paragraf 70 turut disebutkan bahwa hukum humaniter internasional tetap berlaku di dalam kasus konflik internal sampai seluruh teritori dikuasai oleh salah satu pihak baik terjadi pertempuran yang nyata disana atau tidak.
Proportionality dalam NIAC tidak diatur dalam Additional Protocol II (APII). Prinsip ini merupakan prinsip yang penting untuk mencegah korban sipil yang tidak perlu dan menyeimbangkan kemanusiaan dan kepentingan militer. (Farid, 2024:12) Prinsip Proportionality in attack banyak diadopsi oleh negara-negara melalui legislasi atau pernyataan resmi dalam konflik bersenjata secara umum ataupun dalam situasi NIAC, selain itu prinsip ini telah berberapa kali diadopsi dalam situasi konflik baik internasional atau non-internasional seperti Chechnya, Kosovo, Timur Tengah, dan Yugoslavia. (Henckaerts, 2009:49) Penerapan prrinsip proportionality in attack digunakan oleh ICTY dalam perkara The Prosecutor V Tihomir Blaskic, dalam paragraf 651 yang menyebutkan:
By advocating the vigorous use of heavy weapons to seize villages inhabited mainly by civilians, general Blaskic gave orders which had consequences out of all proportion to military necessity and knew that many civilians would inevitably be killed and their homes destroyedÂ
Pertimbangan ICTY dalam memutuskan hukuman bagi Blaskic menyebutkan bahwa Blaskic telah memberi perintah untuk mengepung sebuah desa yang sebagian besar dihuni oleh warga sipil dan adanya kematian warga sipil yang tidak bisa dihindari namun tetap memberi perintah untuk penggunaan senjata berat.
Sama dengan prinsip sebelumnya, prinsip Precaution in attack dalam NIAC tidak diatur dalam perjanjian internasional. Prinsip precaution in attack dapat ditemukan dalam sejumlah panduan militer sejumlah negara.  (Henckaerts, 2009:56) Penerapan prinsip Precaution in attack dapat dijumpai dalam sejumlah putusan pengadilan internasional, salah satunya adalah dalam putusan ICTY dalam perkara The Prosecutor v Kupresic yang dalam paragraf 535 (b) menyebutkan bahwa "It should also be pointed out that at any rate, even when considered lawful, reprisals are restricted by the obligation to take special precautions before implementing them". ICTY menyebut bahwa dalam situasi apapun walaupun sah untuk membalas tetap berkewajiban untuk mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi korban sebelum menjalankan pembalasan tersebut.
Prinsip proportionality in attack secara jelas menjelaskan bahwa sebuah serangan tersebut dilarang apabila berpotensi untuk menimbulkan kerugian yang berlebih dibandingkan keuntungan militer yang didapatkan. Untuk dapat memprediksi korban sipil, diperlukan adanya informasi yang cukup terkait target militer agar dapat melakukan evaluasi terhadap keseimbangan korban dengan keuntungan militer. (Brown, 1976:145) Dalam tragedi Haiti, pemerintah menggunakan sebuah drone dengan peledak hanya untuk seorang target militer (King Djouma), apabila dibandingkan maka terdapat 18 korban sipil yang meninggal untuk eksekusi satu orang target militer (dapat dianggap sebagai satu keuntungan militer), melalui serangan tersebut dapat terlihat Pemerintah Haiti tidak menerapkan prinsip proportionality in attack. Selain itu terdapat opsi serangan lain untuk dapat eksekusi seorang target militer tanpa menggunakan kamikaze drone seperti penggunaan senjata yang presisi guna meminimalkan korban sipil untuk seorang target tunggal.
Prinsip precaution in attack menjelaskan bahwa diperlukannya tindakan pencegahan guna mengurangi korban sipil dan kerusakan pada area serangan. Pada tragedi Haiti, serangan dilakukan pada pesta ulang tahun King Djouma di jalan Simon Pele, Cite Soleil, Port au Prince, Haiti. (Robles,2025) Serangan tersebut dillakukan pada area pemukiman warga sipil, serangan pada wilayah pemukiman memiliki kesulitan untuk memisahkan operasi militer dan targetnya dengan wilayah sipil akibat kepadatan pemukiman sehingga meningkatkan potensi korban sipil. (Jensen, 2016:149) Melihat serangan menggunakan drone pada saat pesta tersebut dilaksanakan dapat terlihat tidak adanya upaya pencegahan guna mengurangi korban sipil yang dilakukan oleh Pemerintah Haiti selayaknya evakuasi penduduk sipil. Apabila menerapkan prinsip precaution in attack, maka pemilihan waktu serangan bisa saja dilancarkan setelah pesta selesai ataupun dapat dilancarkan pada saat King Djouma tidak berada di tengah-tengah warga sipil.
Dengan demikian, dapat terlihat Pemerintah Haiti tidak menerapkan prinsip  proportionality in attack dan precaution in attack yang berakhir pada tewasnya sejumlah warga sipil dalam upaya eksekusi target militer yaitu King Djouma. Sebagai solusi diperlukannya adanya investigasi dilakukan oleh Human Rights Council (HRC) atas dugaan pelanggaran hukum humaniter dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Haiti. Selain itu diperlukannya dorongan agar Pemerintah Haiti dapat mentaati peraturan hukum humaniter internasional dalam situasi NIAC.