Langkah ini tentu kontroversial, tapi juga berani karena menyentuh akar persoalan antara guru, orang tua, dan krisis kepercayaan di dunia pendidikan.
Anak Perlu Dididik, Bukan Dibela Membabi Buta
Ada pergeseran nilai yang berbahaya. Banyak orang tua merasa tugas mereka adalah melindungi anak dari segala bentuk teguran. Padahal, tugas sejati orang tua adalah menuntun anak memahami makna dari setiap teguran.
Anak yang selalu dibela, bahkan ketika salah, akan tumbuh tanpa tanggung jawab. Ia belajar bahwa kesalahan bisa dihapus dengan aduan, bukan dengan introspeksi dan perbaikan diri.
Dalam jangka panjang, kita tidak hanya akan kehilangan disiplin di sekolah, tapi juga kehilangan moral di masyarakat.
Guru bukan musuh, tapi mitra orang tua. Mereka adalah perpanjangan tangan dari cita-cita setiap keluarga untuk melihat anak-anak tumbuh menjadi manusia beradab. Maka, alangkah naif jika guru harus selalu waspada seolah setiap langkah bisa dijadikan alat pidana.
Surat Pernyataan: Pelindung atau Sekadar Formalitas?
Kebijakan KDM tentu menuai pujian sekaligus kritik. Di satu sisi, langkah ini bisa menjadi perisai moral bagi guru agar tidak terus hidup dalam ketakutan. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga berisiko bila dijalankan tanpa sistem pengawasan yang jelas.
Surat pernyataan bukanlah jaminan mutlak. Ia bisa berubah menjadi alat tekanan, terutama bila tidak diiringi mekanisme penyelesaian yang adil.Â
Maka yang lebih penting dari sekadar "tanda tangan" adalah bagaimana membangun budaya dialog agar setiap konflik antara guru dan orang tua diselesaikan dengan hati, bukan emosi.
Guru juga harus paham batasnya. Tegas bukan berarti kasar. Disiplin tidak harus diiringi kekerasan. Tugas guru bukan menghukum, tetapi membina. Sedangkan tugas orang tua adalah mendukung proses itu, bukan menghalangi.