Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kisah yang mengusik hati nurani. Seorang siswa kedapatan merokok, ditegur, lalu ditampar oleh gurunya. Alih-alih diselesaikan secara kekeluargaan, kasus itu berakhir di meja polisi.Â
Sang guru dikriminalisasi, sementara sang anak justru dibela habis-habisan oleh ibunya.
Saya tidak membenarkan tindakan menampar. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tetap tidak dapat dibenarkan. Tapi ada hal yang lebih memprihatinkan dari sekadar tamparan, yaitu ketika tanggung jawab dan nilai hormat terhadap guru hilang, dan orang tua justru membenarkan kesalahan anaknya.
Dulu, orang tua saya selalu berkata kepada para guru:
Kalau anak saya salah, jangan segan-segan ditegur ya, Bu/Pak. Dimarahi juga tidak apa-apa, asalkan demi kebaikan. Tolong didik seperti anak sendiri.
Ucapan sederhana itu kini terasa asing. Banyak orang tua yang begitu cepat tersinggung, seolah anak mereka tidak mungkin berbuat salah.Â
Padahal, pendidikan yang sejati tidak selalu lembut. Ada saatnya tegas, ada saatnya memberi konsekuensi, agar anak belajar bahwa setiap perbuatan memiliki tanggung jawab.
KDM dan Surat Pernyataan Anti-Kriminalisasi Guru
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) meluncurkan kebijakan yang mengundang diskusi luas. Ia mewajibkan orang tua siswa baru menandatangani surat pernyataan untuk tidak memidanakan guru, selama guru tersebut bertindak dalam koridor pendidikan dan niat mendidik. Dikutip dari Pikiran Rakyat, KDM menyampaikan:
Saya minta orang tua siswa membuat surat pernyataan tersebut. Pasalnya tindakan guru kepada siswanya disertai latar belakang untuk kebaikan murid dan untuk pendidikan murid.
Namun, KDM juga menegaskan bahwa bila guru bertindak dengan kebencian atau tanpa unsur pendidikan, mereka tetap harus diberi sanksi:
Kecuali guru bertindak pada muridnya dengan latar belakang kebencian, tidak ada unsur pendidikan dan tidak memberi teladan, mereka wajib diberi sanksi. Orangtua murid boleh melaporkannya.
KDM ingin memastikan agar guru punya ruang untuk mendidik tanpa ketakutan berlebih, namun tetap dalam batas akal sehat dan moralitas profesi.
Kebijakan ini kini menjadi bagian dari SPMB 2025 Jawa Barat, di mana setiap orang tua wajib menandatangani surat tersebut sebelum anaknya diterima di sekolah negeri tingkat SMA/SMK.Â