Belakangan ini, istilah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) makin sering muncul, baik di media sosial, media massa, bahkan sampai masuk berita televisi. Keduanya menjadi gambaran unik dari kebiasaan belanja zaman sekarang. Istilah yang terdengar lucu, namun sebenarnya menyimpan banyak hal yang patut untuk kita renungi bersama.
Tidak sedikit pelaku usaha seperti pemilik kafe dan kedai kopi yang mengeluhkan fenomena ini. Bukan karena jumlah orang yang datang, tapi karena konsekuensi yang ditinggalkan.Â
Rojali, misalnya. Datang berombongan, duduk lama di kafe atau tempat makan demi wifi atau suasana nyaman, namun hanya melakukan pembelian yang sangat minim. Padahal, tempat makan bukanlah area publik bebas pakai, melainkan bagian dari usaha yang memikul banyak beban operasional seperti listrik, bahan baku, sewa, hingga upah pekerja.Â
Meskipun demikian, perlu diluruskan jika tidak semua Rojali merugikan. Hadir dalam jumlah banyak dan membeli sedikit bukan sebuah dosa, selama tidak mendominasi ruang duduk terlalu lama, tidak membuat pengunjung lain kesulitan mendapat tempat, dan tetap menjaga etika sebagai tamu di tempat usaha orang.Â
Kalau memang sedang berhemat, alangkah baiknya jika kita memilih tempat yang memang diperuntukkan untuk umum dan gratis, atau datang di waktu yang tidak ramai agar tidak menggangu pelanggan lain. Intinya: silakan menikmati suasana, tapi tetap sadar situasi.
Berbeda lagi dengan Rohana, ada yang datang hanya untuk bertanya, mencoba barang, bahkan membuat pegawai toko sibuk mencari ukuran yang tepat. Namun setelahnya, mereka pergi begitu saja tanpa membeli apa-apa. Lalu berujung membeli di toko online dengan dalih harganya jauh lebih murah dan terjangkau.
Secara hukum, tak ada yang salah. Tapi kalau bicara tentang rasa, tentang sisi manusiawi, tidakkah kita sempat memikirkan bagaimana capeknya pegawai yang melayani? Bagaimana harapan mereka yang sudah susah payah mencoba bersikap ramah dan membantu, lalu berakhir dengan kekecewaan? Terlebih bagi para pelaku usaha kecil, yang setiap pengunjung sangat berarti untuk menutup biaya operasional harian mereka.
Fenomena ini tentu tidak bisa semata-mata disalahkan pada keadaan ekonomi. Benar, daya beli sedang menurun. Tapi bukan berarti rasa hormat dan tenggang rasa juga ikut turun. Kita masih bisa jadi pembeli yang bijak, yang tidak sekadar melihat harga, tapi juga punya rasa menghargai jerih payah orang lain.
Dan jangan lupa, di tengah kondisi keuangan yang belum stabil, kita juga perlu lebih teliti dan berhati-hati dalam membelanjakan uang. Sebelum terburu-buru membeli barang viral, mencicipi makanan kekinian, atau mampir ke tempat-tempat hits, cobalah tanyakan terlebih dahulu pada diri sendiri:
- Apakah ini aman untuk kebutuhan esok hari?
- Apakah ini aman untuk bayar sekolah anak nanti?
- Apakah ini tidak menggerus dana darurat yang seharusnya disiapkan untuk hal-hal penting?
- Apakah cicilan dan utang sudah ditunaikan?
Jangan sampai performa sosial hari ini menjadi masalah finansial di masa depan. Jangan sampai pula hanya karena gengsi pada akhirnya malah menambah beban. Kadang, yang tampak menyenangkan sesaat, justru membawa sesal di kemudian.
Dan kalau pun suatu saat kita berada di posisi sebagai Rojali atau Rohana, tentu tidak masalah. Selama tetap menggunakan empati dan memakai hati. Belanja bukan hanya soal transaksi, tapi juga interaksi. Para pedagang dan pelayan toko bukan sekadar penyedia jasa, mereka juga manusia yang pantas dihargai.
Maka, alih-alih sibuk melabeli diri sebagai "tim Rojali" atau "tim Rohana", mengapa tidak fokus saja menjadi pribadi yang lebih sadar diri? Karena menjadi konsumen yang tahu batas dan punya rasa, adalah bagian dari tanggung jawab sosial yang kadang terlupa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI