Mohon tunggu...
R. Fefatahillah
R. Fefatahillah Mohon Tunggu... Aktivis Belajar Menulis.

yang sulit didapat, yang rumit dilipat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kapok Jadi Mayoritas: Sebuah Opini yang Ironi

1 September 2025   22:57 Diperbarui: 1 September 2025   22:57 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada penghujung bulan Agustus, setelah perayaan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia—bangsa yang hobi geger ini—digegerkan dengan berbagai pemberitaan unjuk rasa yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa. Situasi pun mencekam.

Penulis adalah seorang pengikut ajaran-ajaran kemanusiaan yang dibumikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Berdarah Surakarta. Warga nahdliyin. Terlahir dari keluarga Jawa, penganut agama Islam. Penulis takut dianggap rasis, meskipun bukan keinginannya untuk dilahirkan sedemikian rupa.

Sehari-hari dalam kesibukan membuka aplikasi media sosial ataupun aplikasi permainan, penulis sudah kebal membaca olok-olok kalimat 'Jawa Hama'. Membaca kolom komentar pemberitaan menyoal hukum dan politik, tidak jarang penulis menemukan kalimat serupa. Menyudutkan mantan-mantan presiden yang hampir semuanya memiliki latar belakang tidak jauh berbeda dengan penulis. Terlahir dari keluarga Jawa dan memeluk agama Islam. Takdir yang harus dijalankan tanpa bisa memilih sebelumnya. Penulis selalu membayangkan takdir itu serupa lembaran kertas dan sepotong meterai yang harus ditandatangani sebelum sempat kita membaca apa isi lembaran tersebut.

Namun, barangkali hidup itu bukan takdir-takdiran. Ada berbagai pilihan yang bisa dipikirkan sebelum keputusan diambil. Termasuk dalam menaggapi berbagai pemberitaan yang kini semakin luas arus keran informasinya. Ada istilah 'homeless media' merujuk kepada media pemberitaan yang tidak berbadan hukum dan tidak berada di bawah naungan dewan pers. Pada era serba digital ini, siapa pun bisa menjadi 'merpati', siapa pun bisa menyampaikan informasi dengan struktur berita dan/atau sekedar headline—tidak peduli informasi yang disampaikan penting atau tidak, fakta atau fiktif. Siapa pun bisa menyebarluaskan berita. Siapa pun dapat membuat berita. Bagian terburuknya, siapa pun dapat menjadi Harmoko. Menyampaikan informasi sesuai kepentingan. Tidak peduli menerangkan atau justru mengaburkan informasi yang sesungguhnya.

14 Februari 2024, masyarakat Indonesia yang memenuhi syarat untuk masuk ke bilik TPS sudah sepakat mengantarkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam kepeminpinan hingga 5 tahun berikutnya. Mayoritas suara akan menjadi pemenangnya. Mayoritas.

Pada beberapa kasus dalam konteks demokrasi yang diketahui—sependek pengetahuan—penulis, mayoritas kerap dikaitkan dengan gerombolan orang yang dituding telah memperlakukan kelompok lain dengan tidak adil. Diksi 'mayoritas' selalu mengingatkan penulis kepada terkebelakang, primitif, dan tidak progresif.

Penulis memiliki unpopular opinion terkait fenomena-fenomena demokrasi—yang baru seumur jagung—di Indonesia. Jika ada masalah, mau tidak mau mayoritaslah yang dianggap salah, yang harus menghentikan tindakan-tindakan—yang dianggap—tidak adil terhadap yang bukan mayoritas, yang tidak terkebelakang.

Penulis tidak suka istilah-istilah di atas. Takut dianggap rasis. Takut dianggap berpihak pada golongan tertentu. Namun, apakah adil menyudutkan mayoritas suara masyarakat Indonesia yang sudah memberikan kepercayaan kepada pemimpin kita hari ini?

Namun bukankah minoritas punya hak untuk bicara? Demokrasi. Sedangkan mayoritas? Demokrasi mengharamkan penindasan oleh suara mayoritas terhadap minoritas. Demokrasi memberikan hak bagi siapa pun untuk menyatakan pendapatnya, termasuk suara minoritas, atau terutama minoritas? Terutama. Minoritas.

Pada penghujung Agustus 2025, berbagai isu berkembang pesat. Kritik tajam disuguhkan oleh banyak masyarakat terhadap pejabat publik atas gaya hidup fantastis dan unggah-ungguhnya yang dirasa kurang empati terhadap perekonomian masyarakat. Namun, apakah saudara-saudara kita yang sipil dengan gaya hidup yang tidak jauh berbeda dengan elite-elite tersebut dapat membentengi diri dari kritik hanya karena 'bukan pejabat publik'.

Apakah saudara-saudara yang main padel, golf, skincare routine, dan fashion-fashion cultere sudah mengetahui apakah tetangganya dapat santap malam ini? Sudah terbeli token listriknya? Sudah terbayar paylater-nya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun