Mohon tunggu...
Fiky Akirta
Fiky Akirta Mohon Tunggu... -

Penulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu

14 Juli 2013   21:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak mengerti dengan jalan hatimu. Entah hatiku yang terlalu sempit atau memang hatimu yang diciptakan untuk tidak pernah merasa sakit.

Mungkin juga aku tidak pernah tahu seberapa keras hatimu. Kamu yang setengah mati mempertahankannya tetap disampingmu, padahal kamu tau, kamu sangat tahu dia tidak menjadikanmu pilihan satu-satunya. Entah sampai angka berapa dan dirimu berada di urutan keberapa. Tapi kamu tetap berpura-pura tidak tahu. Aku sangat ingin bertanya, sebenarnya apa yang kamu cari darinya?

Suatu hari, kamu hanya menjawab. "Mencintai bukan soal untung rugi, bukan soal parasitisme atau mutualisme." Lalu kamu tersenyum seperti benar-benar tidak terjadi apa-apa.
Mungkin kamu benar. Cinta tidak selalu masuk dalam akal, seperti cintamu padanya. Jauh di luar akal.

Kamu manusia biasa kan? Terkadang khayalanku terlalu tinggi akibat terlalu banyak membaca buku-buku fantasi. Aku sempat berpikir kamu adalah jelmaan dari malaikat atau hatimu yang dibuat sama dengan malaikat.

Tapi kamu memang hanya manusia biasa. Sore itu, untuk pertama kalinya dengan nyata kamu mendengar kebenaran, dengan kesadaran penuh. Kamu mendengar dia mempunyai perempuan lain.
Sekali kamu diam dengan mata kosong menatap lantai. Satu menit kemudian kamu menangis sejadinya, berteriak histeris hingga lemas tubuhmu, merosot ke lantai lalu memeluk lutut.

"Lalu sekarang apa?" Aku bertanya padamu prihatin. Kamu hanya diam. Aku tahu kamu sangat mencintainya.

"Aku... Aku akan memintanya memilih." Suaramu serak karena teriakan dan tangisanmu.
Lagi-lagi aku tak bisa menggapai jalan hatimu. Kamu? Berniat untuk memaafkannya?

Aku telah menduganya, dia akan memilihmu. Tapi entah hingga berapa lama. Aku takut ini akan menjadi sebuah kebiasaan lama. Tapi kamu lagi-lagi begitu mudah percaya lagi padanya.

"Aku mempercayai apa yang aku tahu. Aku percaya padanya dengan nyawaku." Begitu kau bilang.

"Lantas kalau dia mengkhianati kamu lagi?" Aku bertanya dengan nada tak percaya.

"Cukup satu kali, jika terulang, aku pastikan akan meninggalkannya." Saat itu kamu berkata mantap.

Benarkah seorang kamu sanggup meninggalkan dia?

Kamu begitu yakin bahwa suatu saat nanti dia akan menyadari betapa tidak akan ada orang yang mencinta sedalam kamu mencintainya. Kamu meyakininya seperti keyakinanmu setiap malam bahwa pagi akan datang, tidak akan terlambat.

Sayangnya dia belum juga sadar betapa berharganya dirimu. Betapa kamu telah hampir mati mengorbankan segalanya untuk membuatnya bahagia dan merasa berarti untuknya.
Hal yang aku khawatirkan terjadi. Kejadian lama terulang.

Tapi kali ini kamu hanya menangis tanpa isak, tanpa teriakan, tanpa emosi berlebihan.

"Lalu apa sekarang? Dia mengulanginya lagi kan?" Tanyaku dengan emosi sedikit meluap.

Kamu diam. Air matamu jatuh satu-satu. Aku tahu betapa terlukanya dirimu.
Cukup. Kamu terlalu berharga untuk dikhianati. Betapa tidak adilnya hidup ini. Kamu yang begitu baik padanya dengan kesabaran tanpa batas dan kesetiaan mutlak, tapi dia membalasmu dengan mengkhianatimu, berkencan dengan perempuan lain, tak peduli akan perasaanmu!

Matamu mulai berhenti memproduksi air mata. "Tidak ada makhluk di dunia ini yang lebih bodoh daripada saya." Begitu kamu berucap. Berkali-kali. Mengutuki dirimu sendiri.

"Kamu tidak bodoh. Kamu hanya terlalu mencintai dia." Aku mencoba membuatmu berhenti mengutuk diri sendiri. Karena aku sudah tahu apa yang akan kamu lakukan. Kamu kembali memaafkannya. Kamu berpura-pura baik-baik saja. Kamu dengan segala kerapuhanmu berpura-pura setegar karang.

Akhirnya kamu kembali memaafkannya. Sebenarnya dia tidak pernah meminta maaf. Kamu yang kini tidak peduli semua orang meneriakimu bodoh atau gila, karena yang kamu tahu saat ini kamu cukup bahagia. Asal ada dia kamu bahagia, kamu utuh, kamu merasa sempurna.

Dan betapa malangnya dirimu, dia tidak pernah berubah. Sekali lagi kamu dikhianati olehnya. Kali ini tidak ada air mata. Kamu hanya diam. Terus saja diam seperti sedang berpikir.

"Kau ingin tertawakan aku?" Suaramu bergetar.

Aku menggeleng.

"Kau ingin mengatakan aku bodoh?" Suaramu semakin bergetar.

Aku menggeleng lagi.

"Kau ingin mengatakan aku tidak waras?" Tangismu pecah. Tangis yang amat pilu. Jika aku boleh memilih, aku lebih baik mendengar kamu menangis sambil berteriak sejadinya daripada mendengar tangismu yang seperti ini.

Aku beringsut mendekatimu. Memeluk tubuhmu. "Tidak. Kamu tidak bodoh. Bukan kamu tidak waras. Kamu hanya mencintai." Ucapku pelan.

Jika kamu bodoh, maka aku lebih bodoh darimu. Aku lelaki paling bodoh yang ada di dunia. Aku tetap mencintaimu sejak hampir empat tahun lalu, sampai sekarang, tanpa pernah kamu tahu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun