Mohon tunggu...
Feddy Wanditya Setiawan
Feddy Wanditya Setiawan Mohon Tunggu... Lecturer

Science advances not by blind obedience to old answers, but by the courage to question

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menkeu Purbaya dan Ambisi 6%: Mungkinkah Ekonomi Indonesia Melesat di Kuartal IV?

14 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   16:51 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skenario Proyeksi: Dari Optimis hingga Realistis (i. Tabel 1)

Pernyataan itu kontan mengguncang panggung ekonomi: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV (Q4) bisa menembus di atas 5,5%, bahkan membuka peluang menggapai 6% jika momentum kebijakan berhasil. Hal ini memancing pertanyaan besar—apakah optimisme tersebut realistis atau sekadar retorika politis? Dalam tulisan ini kita akan mencoba menelaah secara mendalam dari berbagai aspek: latar belakang Menkeu Purbaya, konteks ekonomi makro domestik dan global, instrumen kebijakan yang tersedia, risiko & hambatan, hingga skenario proyektif. Tujuannya bukan sekadar prediksi, tetapi menganalisis apakah 6% di Q4 itu “mungkin” secara prinsip dan apa syaratnya. 

Profil dan Gaya Kepemimpinan Menkeu Purbaya

Sebelum menyelami angka-angka, penting memahami siapa Purbaya Yudhi Sadewa dan paradigma kebijakan yang kemungkinan akan ia usung.

  • Purbaya resmi dilantik sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025.
  • Latar belakangnya cukup menarik: lulusan Teknik Elektro ITB, kemudian meraih gelar MSc dan PhD bidang ekonomi dari Purdue University (Amerika Serikat).
  • Sebelum menjadi Menkeu, ia menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
  • Citra publik Purbaya relatif “langsung, tegas, dan pragmatis.” Reuters menyebut ia sebagai ekonom yang berbicara lugas (plain-speaking).
  • Dia dikenal kritis terhadap lembaga internasional yang, dalam pandangannya, terlalu meremehkan potensi ekonomi Indonesia.
  • Salah satu pernyataannya yang sering dikutip: “90% perekonomian kita di-drive dari permintaan domestik.” Dengan kata lain, fokus utamanya adalah mengobati ‘sakit’ domestik ketimbang mengandalkan permintaan luar negeri.
  • Dalam rapat DPR, Purbaya menyebut akan menarik dana sekitar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (sebesar cadangan likuiditas) untuk menjaga likuiditas dan mendorong sektor riil.
  • Dengan karakter dan strategi semacam ini, Purbaya tampaknya akan mengedepankan kebijakan propertumbuhan (growth-oriented) yang agresif dibandingkan pendekatan yang lebih berhati-hati atau restriktif.
  • Namun, “agresif” bukan berarti bisa melewati batas fundamental — dan tantangan yang dihadapi sangat besar. Mari kita hitung secara makro.

Landasan Makroekonomi: Keadaan Saat Ini & Tren

1. Pertumbuhan ekonomi historis & baseline

Untuk memahami apakah pertumbuhan 6% dalam satu kuartal mungkin, kita harus melihat dasar (baseline) ekonomi Indonesia saat ini:

  • Sejak pemulihan pasca-COVID, pertumbuhan tahunan Indonesia sering berkisar di angka ±5%.
  • Data paling mutakhir (kuartal II / semester I 2025) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran “kuat, tapi belum spektakuler.” (BPS data)
  • Banyak lembaga internasional, seperti World Bank atau institusi ekonomi global lainnya, masih memproyeksikan pertumbuhan nasional 2025 di kisaran 4,7% – 5,0% (atau sedikit di atas). Hal ini menunjukkan ekspektasi pasar bahwa pemulihan akan moderat, bukan loncatan kilat ke 6%.
  • Dalam konteks kuartal ke kuartal (q-to-q), untuk mencapai 6% (yoy) di Q4, pertumbuhan kuartal itu harus melebihi rata-rata tahunan, ditopang lonjakan output atau permintaan yang besar.

Artinya, untuk “menaikkan” pertumbuhan ke 6% di Q4, kita butuh “suntikan ekstra” yang cukup besar — baik dari belanja pemerintah, investasi swasta, maupun ekspor yang melonjak.

2. Sumber pertumbuhan: konsumsi, investasi, ekspor & belanja pemerintah

Kalau kita teliti struktur pendorong pertumbuhan:

  • Konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bila daya beli meningkat (pendapatan meningkat, inflasi terkendali), konsumsi dapat menopang pertumbuhan.
  • Investasi (termasuk investasi swasta dan proyek infrastruktur) penting untuk memperbesar kapasitas dan daya saing produksi domestik.
  • Ekspor dan sektor luar: permintaan global untuk komoditas, manufaktur, dan produk bernilai tambah bisa mendongkrak pertumbuhan, terutama jika rupiah tidak terlalu melemah.
  • Belanja pemerintah & stimulus fiskal: ini adalah “alat langsung” yang dapat dipicu dalam jangka pendek (misalnya, belanja padat karya, insentif usaha, transfer daerah) agar memberikan efek multiplier terhadap aktivitas ekonomi.

Purbaya menyadari bahwa banyak tekanan berasal dari likuiditas yang tertahan dan permintaan domestik yang lesu (disebutnya, kondisi ekonomi “ditekan” oleh kebijakan moneter/fiskal sebelumnya). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun