Mohon tunggu...
Febrike Nadjamuddin
Febrike Nadjamuddin Mohon Tunggu... Penulis

Menulis tentang hal-hal kecil yang sering kita lupa nikmati dan disyukuri

Selanjutnya

Tutup

Trip

Ketika Panas di Madinah Menyentuh Hatiku

13 Oktober 2025   21:53 Diperbarui: 13 Oktober 2025   21:53 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Aku masih ingat hari itu.
Akhir September di Madinah, udara panasnya seperti menembus kulit. Tapi di balik panas itu, ada kesejukan yang sulit dijelaskan. Aku berjalan menuju Masjid Nabawi, mengenakan abaya berwarna terang yang kupilih karena terasa lembut dan nyaman. Kupikir, itu sudah cukup pantas untuk beribadah. Tapi Allah selalu punya cara lembut untuk menegur hambaNya.

Di pelataran masjid, mataku terpaku pada lautan hitam  ribuan wanita berjalan anggun dengan abaya panjang yang sederhana. Tak ada kilau, tak ada warna mencolok. Tapi di situ aku melihat keindahan yang lain: keindahan dalam ketundukan.

Aku melihat diriku sendiri, dan merasa berbeda.
Bukan karena orang lain memandang, tapi karena aku menyadari mereka semua tampak begitu tenang, sementara aku masih sibuk dengan hal-hal kecil yang seharusnya tak penting.

"Mereka tidak sedang memperindah diri untuk dunia, tapi sedang menyerahkan diri kepada Allah," bisikku dalam hati.

Di tengah renungan itu, aku kehilangan sandalku.
Entah di mana, mungkin tertukar, mungkin terambil tanpa sengaja. Saat menyadarinya, aku hanya bisa tertawa kecil dan akhirnya berjalan nyeker, hanya berkaos kaki menuju masjid.
Sedih, iya. Tapi anehnya, ada damai yang tumbuh di dalam dada.

Aku menunduk, melewati pelataran yang panas.
Langkahku terasa ringan, meski kaki mulai terasa perih.
Dan saat itu aku merasa sangat kecil tapi justru dekat sekali dengan Allah.
Kehilangan sandal membuatku belajar bahwa kadang, untuk benar-benar sampai kepadaNya, kita memang harus melepaskan sesuatu, bahkan yang kecil.

Malamnya di kamar hotel, aku menangis.
Bukan karena sedih kehilangan sandal, tapi karena tersentuh oleh cara Allah mendidik dengan begitu lembut.
Ia tidak menegur dengan keras, tapi lewat hal-hal kecil yang membuat kita berpikir dan merasa malu pada diri sendiri.

Sejak hari itu, aku mulai berubah perlahan.
Belum sepenuhnya syar'i, tapi aku mulai dari hal kecil memilih pakaian yang lebih panjang, jilbab yang menutup dada, dan niat yang lebih jernih.
Bukan untuk terlihat lebih baik dari orang lain, tapi agar aku sendiri merasa lebih dekat dengan-Nya.

Kini, setiap kali aku mengenakan pakaian yang lebih tertutup, aku selalu teringat hari panas itu di Madinah.
Hari ketika aku kehilangan sandal, tapi menemukan makna malu, sabar, dan ketundukan.
Di tanah suci itu, aku belajar kadang Allah mengambil sedikit, hanya untuk mengembalikan sesuatu yang jauh lebih berharga: ketenangan hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun