Setiap kali angka inflasi diumumkan, masyarakat kerap menatap dua harga dengan cemas: cabai dan emas. Keduanya sama-sama sensitif terhadap perubahan ekonomi, tapi membawa cerita berbeda tentang daya beli dan perilaku masyarakat.
Cabai adalah komoditas yang langsung terasa di meja makan. Ketika harga cabai rawit melonjak dari Rp40 ribu ke Rp120 ribu per kilogram, bukan hanya pedagang dan ibu rumah tangga yang panik --- inflasi bahan pangan ikut terdorong naik. Dalam Indeks Harga Konsumen (IHK), kelompok makanan, minuman, dan tembakau sering jadi penyumbang terbesar inflasi bulanan. Lonjakan cabai biasanya terjadi karena cuaca ekstrem, distribusi terganggu, atau siklus panen yang tak merata. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah, terutama kelompok menengah bawah.
Sementara emas memainkan peran yang lebih "dingin". Ia justru jadi pelarian ketika inflasi naik. Saat nilai uang melemah dan harga barang melonjak, masyarakat beralih ke emas sebagai bentuk penjaga nilai (store of value). Kenaikan harga emas sering kali berjalan beriringan dengan inflasi tinggi --- bukan karena pasokan terganggu, tapi karena permintaan meningkat sebagai respon terhadap ketidakpastian ekonomi.
Dengan kata lain, cabai menggambarkan tekanan hidup jangka pendek, sedangkan emas melambangkan strategi bertahan jangka panjang.
Pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas harga melalui koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), terutama menjelang hari besar keagamaan nasional. Namun pada akhirnya, inflasi tidak selalu buruk. Kenaikan harga yang moderat justru menjadi tanda ekonomi yang hidup --- asal tidak membuat masyarakat kehilangan kendali atas kebutuhan pokoknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI