Beberapa waktu terakhir, jagat maya kembali ramai gara-gara satu drama Korea: Your Majesty.
Dari obrolan di kantor sampai grup WhatsApp keluarga, semua ikut menyinggung tentang pangeran tampan, kerajaan modern, dan kisah cinta yang katanya "bikin standar baru."
Saya sempat ikut mendengar ibu-ibu di kafe berbincang tentang episode terakhir. Salah satunya berkata, "Coba ya, laki-laki Indonesia selembut itu."
Yang lain menimpali, "Kita ini kurang romantis, nggak kayak di drama-drama itu."
Saya hanya tersenyum, menyesap kopi, dan berpikir betapa kuatnya pengaruh budaya luar membentuk cara kita memandang cinta, sukses, bahkan kebahagiaan.
Kekuatan Cerita dari Negeri Ginseng
Kita tidak sedang bicara soal hiburan biasa. Drama Korea bukan cuma tontonan, tapi juga alat budaya dan ekonomi.
Mereka menjual rasa, estetika, hingga cita-cita hidup dalam kemasan yang nyaris sempurna.
Tak heran, dari anak SMA sampai ibu rumah tangga, semua bisa terseret arusnya.
Namun di balik kemegahan itu, saya sering bertanya:
kenapa kita begitu mudah terpesona oleh hal yang datang dari jauh, tapi jarang memberi perhatian pada cerita yang tumbuh di sekitar kita?
Budaya Lokal: Rasa yang Tak Pernah Kita Seduh
Di Makassar saja, setiap sore di musim hujan, aroma sarabba, coto, dan pisang epe menyebar di udara.
Ada kehangatan, ada cerita, dan ada nilai ekonomi yang tumbuh dari situ.
Tapi kita jarang mengemasnya sebagai cerita, apalagi menjadikannya bagian dari kebanggaan budaya modern.
Kita punya banyak kisah yang seindah drama: kisah cinta Bugis-Makassar yang kuat, nilai gotong royong di pasar, sampai keharuan sederhana seorang ibu penjual jagung di pinggir jalan.
Namun karena tidak dibungkus seindah drakor, kita sering melewatkannya.
Distraksi Budaya dan Ekonomi
Yang menarik, fenomena ini bukan sekadar soal selera tontonan.
Ada dampak ekonomi yang nyata.
Setiap kali drama Korea populer, produk turunannya ikut laris: kosmetik, makanan instan, hingga fashion.
Sementara produk lokal kita kadang masih harus berjuang keras mencari perhatian.
Bukan berarti kita tak boleh menikmati budaya luar tentu boleh.
Tapi jangan sampai kita selalu menjadi pasar, bukan pelaku.
Budaya lokal kita sebenarnya bisa bersaing kalau diberi ruang dan cara bercerita yang segar.