Mohon tunggu...
Feby
Feby Mohon Tunggu... Auditor - ASN

berlari

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menikah, Melahirkan, atau Mengejar Mimpi: Menjelajahi Pilihan Childfree di Indonesia

5 Mei 2024   22:45 Diperbarui: 5 Mei 2024   22:47 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Hal Negatif dari Fenomena Childfree

Para filsuf klasik seperti Immanuel Kant, Aristoteles, Plato, dan Hegel tidak membahas fenomena childfree secara spesifik. Isu tersebut tidak menjadi pembahasan para filsuf karena ada kemungkinan fenomena childfree belum umum terjadi pada tahun para filsuf klasik masih hidup dan menghasilkan magnum opus mereka masing-masing. Istilah “childfree” itu sendiri pertama kali digunakan pada tahun 1972 sementara sebagian besar filsuf klasik hidup pada tahun sebelum masehi.
Keempat filsuf di atas sama-sama mengkaji mengenai isu keluarga dalam tatanan sosial bermasyarakat. Pandangan mereka tentang keluarga, reproduksi, dan peran anak dalam masyarakat dapat memberikan beberapa wawasan tentang sudut pandang potensial mereka terhadap fenomena childfree.

Plato berpandangan bahwa reproduksi masyarakat dikendalikan secara ketat dan diatur oleh penguasa untuk kepentingan negara . Masyarakat tidak secara bebas menentukan pilihannya mengenai jumlah anak yang ingin dilahirkan dan dibesarkan. Keputusan memiliki atau tidak memiliki anak bukan menjadi hak kebebasan masyarakat dalam menentukan kehidupan berkeluarganya.
Pandangan Aristoteles tentang keluarga dan reproduksi berasal dari gagasan rumah tangga sebagai institusi sosial yang fundamental. Ia menekankan pentingnya hubungan keluarga dan peran orang tua serta anak-anak dalam rumah tangga. Meskipun tidak secara eksplisit membahas fenomena childfree, fokusnya terhadap isu keluarga sebagai unit yang memegang peran penting di tengah masyarakat menunjukkan pandangan tradisional tentang kehidupan keluarga.

Teori Kant tentang pernikahan dan keluarga didasarkan pada pemahaman kontraktualisme, yang menekankan tugas dan tanggung jawab pasangan suami istri dan orang tua terhadap anak-anak mereka. Meskipun dia tidak secara langsung membahas gaya hidup tanpa anak, penekanannya pada kewajiban moral untuk mendidik dan mendidik anak-anak menunjukkan bahwa ada perhatian khusus terkait mengurus dan membesarkan anak.

Filsafat Hegel menekankan pentingnya pernikahan dan kelangsungan keluarga melalui pengasuhan anak. Bagi Hegel, keberadaan anak dalam keluarga tidak hanya penting untuk kelangsungan hidup fisik, tetapi juga penting untuk perkembangan moral dan sosial keluarga. Anak-anak membawa kegembiraan dan arti bagi keluarga, serta membantu dalam pertumbuhan dan evolusi moral orang tua. Meskipun filosofi Hegel tidak secara eksplisit membahas pilihan untuk tidak mempunyai anak, penekanannya pada sifat etis pernikahan dan kelangsungan keluarga melalui anak menunjukkan bahwa dia mungkin tidak mendukung gaya hidup childfree sebagai pilihan utama atau ideal.

Secara keseluruhan, berdasarkan pandangan para filsuf ini, dapat disimpulkan bahwa mereka mungkin memiliki pandangan tradisional tentang pentingnya keluarga dan reproduksi, yang mungkin tidak sejalan dengan fenomena childfree sebagaimana banyak dianut dalam masyarakat saat ini.


Dalam mencari arah dalam kehidupan ini pun kita juga dapat menggunakan standar dan nilai yang telah diberikan oleh agama. Agama Kristen di dalam kitabnya membahas mengenai keberkahan dari berkeluarga, memiliki, mendidik, serta mengasuh anak. Anak merupakan pemberian mulia dari Tuhan, sebagaimana termaktub dalam Kitab Mazmur 127 ayat 3 “Anak-anak adalah karunia yang indah dari Allah” (Mzm. 127:3) . Ayat tersebut memberi kepastian dari Tuhan secara langsung bahwasanya anak adalah karunia Tuhan yang dengannya kehidupan manusia dapat menjadi berkat. Akan tetapi, keluarga yang tidak dikarunia dengan anak bukan berarti tidak dikarunia oleh Tuhan karena Tuhan memiliki rencana-Nya bagi setiap insan yang diciptakan. Hanya saja, perbuatan manusia yang kurang menghargai karunia Tuhan dengan menghendaki pencegahan fertilitas dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan.
Agama islam pun juga mempunyai sudut pandang yang bertolak belakang dengan fenomena childfree. Terdapat di dalam Surat Al-Baqarah ayat 187  yang berbunyi dalam terjemahan bahasa Indonesia “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” Allah telah menentukan garis takdir setiap ciptaannya, termasuk perkara keturunan. Tugas manusia hanya dalam ranah berusaha, rezeki berupa kesehatan, harta, dan pekerjaan. Penganut childfree yang melakukannya karena dasar takut akan bertambahnya beban perlu melakukan evaluasi terhadap keimanannya karena Tuhan tidak akan ingkar ketika telah berjanji.

Kesimpulan dan Saran

Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, fenomena childfree menjadi sebuah isu yang menarik untuk dipertimbangkan dari berbagai sudut pandang, baik itu dari segi sosial, budaya, maupun agama. Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat bahwa angka pernikahan dan kelahiran menurun dalam beberapa tahun terakhir, di mana sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan pola pikir dan gaya hidup masyarakat modern.

Dari sudut pandang agama, terdapat beragam interpretasi dan pemahaman terhadap keputusan untuk hidup tanpa anak. Dalam agama-agama seperti Kristen dan Islam, keluarga dan keturunan dianggap sebagai anugerah Tuhan dan penting dalam pembentukan masyarakat. Namun, ada juga pemahaman bahwa keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak merupakan hak pribadi yang harus dipertimbangkan dengan bijaksana oleh individu dan pasangan.
Para filsuf seperti Kant, Aristoteles, Plato, dan Hegel memiliki pandangan yang cenderung tradisional tentang pentingnya keluarga dan reproduksi dalam masyarakat melalui ilmu filsafat yang mereka pelajari dan sampaikan. Meskipun tidak secara langsung membahas fenomena childfree, pandangan-pandangan mereka menunjukkan bahwa mereka mungkin tidak mendukung gaya hidup tersebut sebagai pilihan utama atau ideal.

Dalam mencari arah hidup dan menjalani kehidupan berkeluarga, penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai dan ajaran yang diberikan oleh agama, namun juga harus memahami bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, solusi yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap beragam pilihan hidup yang ada, serta memberikan dukungan dan penghargaan terhadap keputusan yang diambil oleh individu atau pasangan dalam menjalani hidup mereka. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih inklusif dan berempati terhadap pilihan hidup orang lain, sehingga setiap individu dapat merasa dihargai dan diterima dalam menjalani kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun