Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Money

Sauland Sinaga: Bisnis Ternak Babi Masih Menjanjikan

31 Juli 2015   08:09 Diperbarui: 14 Juni 2017   23:25 6118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seorang dengan kemeja batik dan mengenakan kopi tiba-tiba ada di belakang tempat saya duduk, saat acara workshop asosiasi yang diadakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Surabaya. Rupanya ia adalah Pak Sauland Sinaga, orang yang baru saya kenal sejak tahun lalu.  Kami langsung saling bertanya kabar, lalu mulailah mengobrol.

Setiap kali ngobrol denganya, ia bercerita kepada saya tentang peternakan babi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara. Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Ia sedih hati melihat peternak babi di Tobasa yang belum sejahtera.

Bapak dengan tiga anak ini mengatakan, kabupaten Tobasa mempunyai potensi besar dalam mengembangkan peternakan babi. Sayangnya, potensi ini belum digarap secara maksimal oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah sehingga peternakan babi di sana belum maju. “Padahal kalau dikelola dengan baik dan dibuat kelompoknya itu bisa kita majukan,” ujarnya dengan meyakinkan.

Boleh dibilang Sauland adalah satu-satunya pakar babi di Indonesia yang masih tersisa. Ia kerap tampil dalam berbagai seminar atau pertemuan ilmiah di tingkat nasional. Tak hanya sebagai dosen dan ketua AMI, Sauland juga didaulat menjadi dewan pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia dan konsultan di beberapa perusahaan obat hewan. Ia tidak hanya punya teori, Sauland juga memiliki banyak pengalaman di lapangan. Ia sudah berkeliling daerah di Indonesia untuk melatih mengenai peternakan babi.

Menurut pengamatannya, ada dua hal kelemahan peternakan babi di Indonesia, yaitu kawin secara inbreeding (perkawinan sedarah/keluarga) dan penyakit . “Hampir semua peternak babi mengawinkan ternaknya secara inbreeding. Selain itu babi di Indonesia muda terserang penyakit Hog Kolera akibat tidak divaksin oleh pemiliknya,” paparnya.

Minimnya pemahaman peternak babi terhadap dua hal tersebut membuat hatinya tergerak untuk lebih aktif membagikan ilmunya. Bahkan, ia selalu mengajak saya untuk membangun Tobasa berbasis peternakan babi. “Ayolah kita bangun Bona Pasogit (kampung halaman) itu,” untuk kesekian kalinya ia mengatakan kepada saya.

Ia menilai bahwa perhatian pemerintah masih lemah terhadap peternakan babi. Ia mengadu sedih ketika berkunjung ke Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) di Siborongborong, Sumater Utara, beberapa waktu silam. Masyakarat sekitar BPTU tersebut nyaris tidak tahu keberadaan dan fungsi BPTU Siborongborong. “Aku antar tiga mahasiswaku untuk PKL ke sana. Kesimpulan mereka adalah masyarakat dengan jarak 1,5 kilometer tidak tahu mengenai BPTU,” tuturnya.

Mestinya BPTU Siborongborong mampu menyediakan dan menyalurkan bibit unggul ternak (babi) kepada masyarakat sekitar Tobasa. Namun peran BPTU tersebut jauh panggang dari api. Jangankan disalurkan, bibit unggul ternak babi dari BPTU Siborongborong sulit diakses masyarakat. “Kalau kita mau pesan bibit ternak babi di sana kayak mendaftar naik haji, bisa diberikan tahun depan. Bahkan ada orang dalam (petugas BPTU) itu yang mengambil bibit babi untuk dipelihara komersial di luar,” ungkapnya seraya memasang wajah sedih.

Danau Toba sebagai ikon provinsi Sumatera telah tercemar eceng gondok (tanaman air) dan keramba jaring apung. Menurut Sauland, eceng gondok sebetulnya bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak babi karena mengandung kadar protein tinggi.  “Danau Toba rusak karena eceng gondok. Orang akan menjadi takut berenang karena nanti ada ular anaconda di bawahnya,” ujarnya sembari tertawa kecil.

Dalam obrolan singkat itu, Sauland meyakinkan bahwa bisnis peternakan babi itu masih menjanjikan. Bahkan, ternak babi adalah satu-satunya komoditi ternak Indonesia yang diekspor dalam jumlah besar yaitu sebanyak 12.000 ekor per hari. Selain itu, daging babi dari Indonesia banyak diminati negara-negara ASEAN Singapura, Malaysia, dan Filipina. “Daging babi dari Indonesia diminati karena lebih segar daripada daging babi negara lain,” pungkasnya.

Baca juga
Potensi dan Peluang Ekspor Ternak Babi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun