Mohon tunggu...
Febri Resky Perkasa Siregar
Febri Resky Perkasa Siregar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya menulis dunia seperti apa adanya, jika dunia salah saya akan menulis seperti apa seharusnya. Steller; @febrisiregarr Jakarta-Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Aku, Tuhan dan Leluhur

22 Februari 2014   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mataku terbuka. Sejauh mata memandang, tidak ada satu pun yang ada. Sunyi sekali.Aku berteriak sekencang-kencangnya tetapi tidak ada yang menghiraukan. Sampai-sampai membuatku putus asa. Terjebak dalam ruang kosong yang tidak ada batasnya.

Sejurus mataku tertuju pada satu titik. Titik itu semakin lama semakin besar. Semula adalah titik kini menjadi bayangan. Bayangan itu terlihat seperti seseorang yang mendekati diriku. Rasa khawatir bergejolak dalam benakku. Terpejam saja yang bisa kulakukan.

Telingaku mendengar suara “Hai saudaraku bukalah matamu”

Aku pun membuka mata. Yang kulihat sosok orangtua yang bercahaya.

“Siapa kau?” tanyaku

“Saudaraku aku adalah Hang Tuah sang Laksamana” Jawab orangtua itu.

Sejenak terdiam. Aku tak menyangka bisa bertemu dengan Hang Tuah. Aku pikir dia hanya legenda dalam buku-buku yang termakan zaman.

Sang Laksamana seperti biasa ia disapa, terlihat bercahaya dengan gaya khas Melayu dan pusaka keris Taming Sari miliknya.

Laksamana yang menghilang beribu tahun lamanya, muncul memegang erat tanganku dan mengajak jiwaku terbang menuju langit ke tujuh.

Aku menanyakan alasan mengapa jiwaku yang masih kebinatangan ini, dibawa berpetualang oleh sang Laksamana. Hanya segaris senyuman misterius yang dapat dibalas oleh sang Laksamana kepadaku. Segala rupa dan kharisma sang Laksamana, membuatku tak sadar telah memasuki alam yang berbeda. Alam yang mungkin dijamah manusia setelah hari akhir.

Setelah beberapa lamanya, sampailah Aku dan Laksamana pada suatu tempat. Tempat itu terlihat seperti pintu gerbang kerajaan yang sangat megah rupanya. Pintu gerbang itu dijaga oleh banyak makhluk bersayap. Ada yang memiliki sayap sebanyak 2, 3 dan 4. Aku hanya terpesona dengan keindahan makhluk itu.

Dalam hatiku berkata “Apakah itu malaikat?”.

Laksamana mengarahkan matanya kepadaku “Hai saudaraku ini adalah pintu gerbang pertama, kita akan melewati tiga pintu gerbang, dan selama aku dan kau melewatinya, janganlah kau menengok ke belakang dan jangan sekalipun bertanya-tanya kepadaku tentang apa yang kau alami” Dengan diselimuti rasa penasaran, aku junjunglah petuah sang Laksamana.

Aku dan Laksamana melangkahkan kaki melewati pintu gerbang pertama. Jalan yang berlantaikan bintang-bintang syi’ra menemani aku dan Laksamana menuju gerbang berikutnya. Beberapa langkah lamanya, betapa terkejutnya Aku saat melihat lautan orang tua renta berlumurkan darah. Mereka meneriakkan sesuatu tetapi tak sepatah kata pun yang keluar, aku tak sanggup memandanginya, seperti palu dan arit yang bersatu-padu membongkar isi otakku.

Pemandangan memilukan itu terus berlanjut mengiringi perjalananku dengan Laksamana menuju pintu gerbang kedua. Laksamana tetap terpaku pada pandangan lurusnya tanpa menoleh kepadaku sekalipun.

Tak sampai 1000 langkah, Aku dan Laksamana sampai di pintu gerbang yang kedua. Kali ini terlihat hanya satu penjaga saja, sosoknya sangat gagah dan rupawan.

“Aku Patih Gajah Mada” begitulah sosok itu memperkenalkan dirinya kepadaku.

Ternyata dia adalah sang patih Gajah Mada sang pemersatu nusantara. Aku dan Laksamana pun berjalan memasuki pintu gerbang kedua itu.

Di awal aku memasuki gerbang yang kedua aku tidak menemukan satu pun kejanggalan yang muncul. Setelah kuhitung 100 langkah adanya, tiba-tiba aku melihat sebuah hamparan melati putih yang indah akan tetapi terbakar oleh api yang berkobar-kobar. Melati putih itu hangus dan menjadi abu lalu tumbuh dan terbakar lagi, terus menerus tidak berhenti seperti melihat matahari yang terbit dan terbenam dalam 3 detik masanya. Aku sampai bosan melihatnya berulang-ulang.

Akhirnya sampailah Aku dan Laksamana pada pintu gerbang yang terakhir. Kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya. Soekarno dan Soeharto, kedua pemimpin Indonesia itu terlihat menjaga pintu gerbang sembari menangis di antara kedua sisi yang berbeda.

Aku tak berani menegur Laksamana, karena aku masih ingat akan petuahnya yang lalu. Dengan perasaan yang masih mengambang, aku melewati kedua pemimpin Indonesia itu tanpa mengganggu tangisan mereka. Setelah aku melewati gerbang ini, terasa ada yang mengikuti langkahku dari belakang, tapi aku tetap menjunjung petuah sang Laksamana sebelumnya.

***

Sampailah aku dan dan Laksamana pada suatu tempat. Laksamana mengarahkan pandangan matanya kepadaku “Hai saudaraku kemarilah akan kukenalkan kepada Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.” Kakiku pun melangkah sejauh mata memandang Laksamana.

“Apa yang kau alami selama perjalanan kita tadi, tanyakanlah kepada Tuhan nanti tetapi sungguh kau tidak akan bisa melihat wujud Tuhan, kau hanya bisa mendengar suaranya.” Bisik Laksamana kepadaku.

“Wahai Laksamana siapakah Tuhanmu itu?,” tanyaku.

“Dia adalah pencipta dan penguasa alam semesta, saudaraku,” tutur Laksamana.

Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar dan cahaya-cahaya semesta muncul tak beraturan. Tanda Tuhan telah hadir.

“Manusia lagi… manusia lagi, mengapa kau membawa maha karyaku yang paling sempurna ini Laksamana? Aku sudah bosan melihatnya!”

“Daulat, ya Tuhan, hamba mohon beribu ampun. Hamba sengaja membawa dia untuk memperlihatkan kebenaran yang ada ya Tuhan.”

“Hmm… kebenaran apa yang akan kau perlihatkan kepada manusia itu?”

“Maaf ya Tuhan, hamba ingin sekali memperlihatkan kebenaran suatu negeri kaya raya yang bernama Indonesia kepadanya.”

“Oh itu…negeri yang penuh kemunafikan, kebencian, kesombongan, kebodohan dan ketidakadilan dan kemesuman.”

“Benar sekali ya Tuhan, jadi apakah Tuhan mengizinkannya?”

“Hmm… baiklah kalau begitu, silahkan dimulai saja. Laksamana kembalilah bertugas ke bumi.”

“Terima kasih Tuhanku.”

“Hai saudaraku, ingat tanyakanlah kepada Tuhan, apa yang kau alami selama perjalanan melewati gerbang-gerbang.”

“Baiklah Laksamana, terimakasih”.

“Ya saudaraku”.

Laksamana menghilang sekejap. Kini hanya aku dan Tuhan yang ada.

“Hai Tuhan aku hendak bertanya kepadamu. Pertama, Ketika aku melewati gerbang pertama, aku melihat lautan orang tua renta yang berlumurkan darah berteriak-teriak tetapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, apakah arti dibalik semua itu?”

“Orang tua itu adalah para arwah pahlawan perjuangan Indonesia yang sedih dengan kelakuan bangsa Indonesia saat ini. Perjuangan mereka tak dianggap sama sekali. Mereka sangat menyesal. Monumen-monumen perjuangan dijadikan tempat hiburan dan permesuman, generasi muda telah menjadi kafir waktu, dan pemimpin-pemimpin di negeri itu melebihi kotoran iblis.”

“Aku terdiam dan nafasku terhenti sejenak, sebegitu kejamkah bangsa ini?” Tanyaku dalam hati.

“Hai manusia kenapa kau diam, ayo silahkan bertanya lagi?”

“Maaf ya Tuhan, pertanyaanku yang selanjutnya adalah tentang melati putih yang tumbuh dan terbakar oleh api dengan berulang-ulang.”

“Hmm…. Melati itu menandakan keindahan negeri Indonesia, tetapi keindahan yang luhur itu tumbuh lalu terbakar oleh manusia-manusia hina yaitu bangsa Indonesia sendiri. Keindahan itu terus berusaha tumbuh akan tetapi dihancurkan lagi oleh ulah bangsa hina itu terus berulang-ulang.”

“Terima kasih Tuhan, pertanyaan terakhirku, mengapa Patih Gajah Mada, Soekarno dan Soeharto menjaga pintu-pintu gerbang itu, maksud dari semua ini apa?”

“Tenanglah manusia. Mereka semua ada dibelakangmu dan mengikutimu sampai kau disini”.

“Kenapa ya Tuhan mereka berada disini?”

“Baiklah, Aku akan menjelaskannya. Pertama patih Gajah Mada ada disini karena ia telah bersumpah kepadaku bahwa sebelum rakyat dan pemimpin bangsa Indonesia bersatu, ia akan selalumenjaga pintu gerbang kedua sembari berpuasa, tak perduli apapun halangannya”.

“Bagaimana dengan Soekarno dan soeharto?”

“Sabar manusia. Apakah kau melihat mereka sedang menangis?”.

“Iya benar sekali ya Tuhan, mereka sedang menangis saat aku melewati gerbang terakhir”.

“Hahaha…. Sebenarnya mereka menangis atas perbuatan biadab yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini”.

“Wahai Tuhan hal apa yang telah dilakukan bangsa Indonesia? aku belum mengerti sama sekali”

“Dasar manusia bodoh. Bangsa Indonesia saat ini adalah sumber kerusakan akhir zaman. Lihatlah negeri mereka yang kaya raya, aku beri banyak musibah dan bencana alam. Ini aku lakukan agar mereka sadar dan bersyukur. Tetapi sampai mendekati akhir zaman mereka tetap saja bertindak seperti kotoran iblis. Seperti kataku tadi negeri yang penuh kemunafikan, kebencian, kesombongan, kebodohan, ketidakadilan dan kemesuman”.

“Maaf ya Tuhan, apa yang bisa hamba perbuat untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik?. Hamba ingin sekali memperbaiki akhlak bangsa hamba ya Tuhan. Hamba tak ingin melihat arwah-arwah para pahlawan menangis terutama untuk Soekarno dan Soeharto ya Tuhan

“Niatmu sungguh terpuji manusia. Tapi kau harus berjanji kepadaku, kau harus mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Jika kau melanggarnya maka kau tidak akan diterima di surga dan neraka. Bagaimana manusia, apakah kau siap?”

“Aku bersedia ya Tuhan, aku sudah siap dengan segala apa yang terjadi. Ini semua demi Bangsa dan Negara Indonesia”

“Baiklah kalau itu memang keinginanmu. Hai Gajah Mada Soekarno, dan Soeharto berdirilah dihadapanku”

“Baik Tuhanku” Jawab mereka bertiga.

“Kalian bertiga berikanlah kekuatan hati dan jiwa kalian terhadap manusia itu. Tetapi berilah yang baik dan singkirkan yang buruk dari dalam diri kalian. Manusia itu ingin mengubah Indonesia menjadi lebih baik”

“Baik Tuhanku” Jawab mereka bertiga.

Seketika cahaya dari dalam tubuh Gajah Mada, Soekarno dan Soeharto masuk ke dalam diriku. Keinginan dan kegelisahan para leluhur dahulu mengendap dalam diriku. Tetapi semangat juang leluhur merasuki hati dan jiwaku. Meledak-ledak rasanya.

“Manusia jika kau ingin mengubah Indonesia tanamkanlah hati dan jiwa Gajah Mada, Soekarno dan Soeharto di dalam dirimu. Berikan dan sebarkanlah kepada bangsa Indonesia. Dan jika kau bertemu dengan pemimpin Indonesia yang baru, berikanlah jiwa Gajah Mada, Soekarno dan Soeharto kepadanya. Maka negeri dan bangsamu akan menjadi lebih baik. Hanya itulah yang bisa aku berikan kepadamu manusia, sebuah petunjuk yang harus kau lakukan. Selanjutnya tergantung dirimu sendiri”

“Terima kasih Tuhan. Hamba akan berusaha keras untuk mengubah Indonesia yang sekarang menjadi Indonesia yang baru”

Bayang-bayang hitam muncul. Sekelebat cahaya menyinari. Mataku terbuka. Setengah sadar diriku bangkit dari ranjang ini.

Ini mimpi?. Ya Aku hanya bermimpi dalam sepertiga malam. Aku pikir ini adalah kenyataan. Bagaimana aku bisa bertemu dengan pemimpin Indonesia yang baru dan memberikan hati dan jiwa Gajah Mada, Soekarno dan Soeharto. Aku ini hanyalah rakyat biasa yang ingin mengubah Indonesia menjadi baru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun