Mohon tunggu...
Febrio Sapta Widyatmaka
Febrio Sapta Widyatmaka Mohon Tunggu... Lainnya - Warga Negara Biasa

Jika ditanya konsentrasi? S1 Kartografi dan Penginderaan Jauh. S2 Tropical Urban and Regional Planning. So, mungkin bahasannya tidak akan lari jauh dari seputar itu. Namun, saya juga peminat masalah soshum, politik "kekacauan", dan universalitas.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Indonesia Malas Jalan? Terus Kenapa?

25 Juli 2022   10:00 Diperbarui: 25 Juli 2022   10:04 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini banyak media mainstream dan sosial menggencarkan berita bernada "sungguh memalukan Indonesia". Asal mula beritanya dari hasil penelitian sejumlah ilmuwan di Stanford University. Pembaca mungkin sudah lebih tahu isi beritanya. 

Yak! Berdasarkan penelitian tersebut, Indonesia -lebih tepatnya masyarakat Indonesia- menduduki peringkat pertama sebagai negara paling malas berjalan kaki. Kalau disimak dari pemilihan kata berupa "malas" maka tendensinya memang ke arah yang negatif. Tetapi, jangan terjebak sampai di sini saja.

Penulis ketika hendak menyelesaikan studi master tahun 2017 di salah satu universitas di North Queensland sempat mengajukan topik seputar "pedestrian". Penulis tergelitik dengan adanya jembatan penyeberangan pejalan kaki di beberapa kota yang pernah disinggahi. Terkhusus lagi penulis fokus pada beberapa "pedestrian bridge" di Kota Bandar Lampung. 

Plus, penulis menyoroti budaya masyarakat setempat dalam menyeberangi jalan. Rangkaian ide telah disampaikan kepada Sang Profesor. Namun, berhubung kali itu penulis mendapatkan beasiswa sapu jagad alias beasiswa terakhir (kalau tidak mau disebut beasiswa sisa, hehehe), Sang Profesor mengkhawatirkan penelitian tersebut akan extend 1 semester lagi. Akhirnya, ide tersebut dikubur.

Pagi-pagi di bulan Oktober tahun 2019,  Profesor dari Australia menghubungi penulis via Facebook. Beliau menyertakan link semacam majalah transportasi yang baru saja dipublikasikan di Amerika Serikat. Pendek kata, beliau meng-highlight: "Ini benar-benar mirip dengan apa yang akan kamu teliti beberapa tahun silam.". Sayang kalau boleh dibilang ya.  

Sebuah ide yang muncul dari bumi Indonesia, sudah dirangkai eksekusinya seperti apa, dan ternyata beberapa tahun kemudian negara lain yang "memilikinya". Sebagai obat penyesalan, akhirnya sebuah tulisan opini berjudul Kajian Jembatan Penyeberangan Lampung terbit tanggal 19 Oktober 2019 di harian Lampung Post. Tulisan tersebut boleh dibilang sebagai rangkuman ide penelitian sejak 2017.

Penulis tentu orang Indonesia. Bahkan, kadang aksen medok jawanya muncul sebagai bagian dari keasliannya sebagai Indonesian. Lalu apakah penulis tersinggung dengan hasil penelitian Stanford? Jawabannya: Tidak! Berarti penulis tidak tahu malu dong? 

Sudah jelas judul pemberitaan tersebut menghembuskan aura negatif, kan? Penulis tetap tidak tersinggung dengan pemberitaan tersebut. Bahkan, tidak juga punya niat untuk menjadikan diri sendiri menjadi rajin berjalan kaki. Kenapa?

Ini khusus bagi pembaca yang belum pernah ke negara lain yang iklimnya berbeda dengan Indonesia ya. Khususnya bepergian ke negara yang relatif lebih dingin. Namun, pembaca yang pernah ke negara seperti itu pun silakan tetap melanjutkan bacanya (jangan lupa komentar). 

Budaya malas berjalan kaki sangat terkait dengan alam, lingkungan, dan iklim. Berjalan kaki di Indonesia seperti di Jakarta tentu akan berbeda dengan berjalan kaki di Sydney. Kenapa? Dari sisi iklimnya pun sudah berbeda. Iklim di Indonesia berasa jauh lebih panas dibanding Australia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun