Mohon tunggu...
Febri C
Febri C Mohon Tunggu... -

Melihat dan mendengar dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Karena hidup adalah Sebuah Neraca”

21 Juli 2013   09:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1374372120894045838

Ditemani segelas air putih sesaat setelah bersantap sahur pagi ini, saya mencoba menuliskan beberapa pemikiran hasil kontemplasi saat terjebak kemacetan tadi malam. Baiklah, mungkin memang tidak terdengar se-“keren” jika menulis sambil ditemani segelas kopi hangat dan sebatang rokok di tangan kanan seperti para penulis-penulis novel kelas wahid itu, dan seperti kebiasaan saya dahulu juga, namun dengan atau tanpa kedua hal tesebut tidak akan mengubah isi yang dituliskan bukan?.

Kali ini saya ingin berbicara soal “Kebahagiaan”. Satu hal yang sudah pasti dicari oleh semua manusia dalam kehidupan. Kebahagiaan dirasakan bukan sesuatu hal yang mudah untuk diraih karena tidak semudah membeli sebutir telur, satu cup ice cream atau beberapa batang coklat di mini market terdekat tetapi juga bukan suatu hal yang tidak mungkin mampu untuk di raih. Namun sudah jelas kebahagiaan bukanlah suatu legenda, mitos atau angan-angan dari sebuah kehidupan seperti halnya seekor Unicorn (Kuda bercula satu dan bersayap). Kenapa? Karena secara alam bawah sadar, mau tidak mau, toh kita dipaksa untuk terus mencari kebahagiaan tersebut. Tidak sekali atau dua kali, tetapi terus menerus selama napas masih berembus meskipun kesedihan kerap datang silih berganti. Kita tidak pernah jera mencari kebahagiaan dalam kehidupan.

Lawan kata dari kebahagiaan adalah kesedihan. Kesedihan itu sendiri apa sih? Mungkin jika saya boleh terjemahkan secara bebas dengan kacamata suka suka saya adalah suatu kondisi yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Seperti salah satu lirik lagu dari Alanis Morisette yang berjudul “Ironic”, ibarat disaat kita membutuhkan sebuah alat makan, contohnya: sendok namun yang ada malah garpu atau pisau atau bahkan tidak ada sama sekali. Atau kondisi yang saya alami berkali-kali yaitu disaat baru saja keluar dari tempat pencucian mobil, hujan badai turun dengan derasnya. Mau tepok jidat berkali-kalipun tidak akan mengubah keadaan bukan?. Kekecewaan semacam itu baik yang kecil maupun yang besar, sering kita alami puluhan atau jutaan kali dalam kehidupan. Lalu menjadikan kita semacam expertise kesedihan tanpa ijazah, dimana rasanya sangatlah mudah membuat puluhan daftar kesedihan pada kehidupan hanya dalam waktu lima menit saja (Mungkin lucu juga jika ada acara TV untuk perlombaan semacam ini). Lalu apakah dengan adanya jutaan kesedihan yang kita alami maka artinya kebahagiaan tidak pernah ada?.

Saya pernah mengambil mata kuliah akuntansi meskipun sekarang bukan seorang accountant, dan pernah mengenal yang namanya Neraca. Neraca adalah salah satu bentuk laporan keuangan dimana pelaporan terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi aktiva dan sisi pasiva. Kedua sisi tersebut harus selalu memiliki angka akhir yang sama. Jadi jika sebuah perusahaan memiliki harta kekayaan seperti gedung akan dicatat di sisi kiri yaitu aktiva  dan hutang-hutang yang dilakukan untuk melakukan pembelian gedung tersebut diletakkan di sisi kanan yaitu pasiva. Sehingga jika kehidupan adalah sebuah Neraca maka pada sisi kiri yaitu aktiva = kebahagiaan dan pada sisi kiri yaitu pasiva = kesedihan. Maka dalam kehidupan sudah pasti ada yang namanya kesedihan dan kebahagiaan. Bagaimana dengan jumlahnya? Saya rasa jumlahnya sama.

Kita terlalu terbiasa menghitung atau melihat sisi pasiva (kesedihan) dalam kehidupan kita lalu membandingkan dengan melihat sisi aktiva (kebahagiaan) untuk kehidupan orang lain (kitaaa??? Kamu saja kaliii... hehehehe). Iya, SAYA lebih banyak melakukan hal tersebut J , karena jauh lebih mudah untuk mencari pembenaran yang salah di saat kesedihan yang menimpa dan lebih terdengar seru dan “drama” kalau saya katakan: “kamu sih enak bisa kemana-mana naik mobil sedangkan saya? harus naik turun 100 anak tangga untuk naik kendaraan umum dimana saat panas kepanasan, hujan kehujanan, oh... dimana letak keadilannnn?”.  Hello..., tentu saja tidak akan pernah sama, kalau kita memang niat membandingkan, harusnya dilihat dari kedua sisi masing-masing neraca, coba lihat sisi pasiva (kesedihan) si pemiliki mobil.

Lalu apa yang harus saya lakukan? Menghitung pasiva (kesedihan) orang lain? Untuk apa? Toh neraca kehidupan orang lain memiliki jumlah yang sama dengan aktiva (kebahagiaan) yang dimilikinya. So let it be...

Mungkin sudah saatnya kita fokus kepada neraca (kehidupan) sendiri. Dan untuk menyikapi pasiva (kesedihan) yang ada, kita pelu mulai menghitung aktiva (kebahagiaan) sendiri yang selama ini terlupakan. Kebahagian kecil, kebahagian yang tidak kita sadari atau bahkan kebahagiaan yang teramat besar sehingga terkadang kita lupa bahwa hal-hal seperti itu telah diberikan secara cuma-cuma dalam kehidupan.

Kebahagiaan saat mencicipi ice cream durian, mendengarkan musik kesukaan diputar di radio, mendapat sms dari ibu untuk makan siang bersama di akhir minggu atau sekadar sapaan petugas parkir kantor yang selalu mengucapkan “ hati-hati di jalan ya bu”, hangatnya sinar matahari saat berenang di lautan sambil melihat terumbu karang dan warna warni ikan yang menari, dingin dan tenangnya arus air sungai diantara lembah berwarna hijau jamrud, sinar bulan yang anggun dan kedipan bintang-bintang diangkasa, warna langit pagi dan sore yang luar biasa indahnya dan terkadang dihiasi semburat warna lembut pelangi yang romantis. Semua itu masih bisa saya nikmati dengan semua panca indera tubuh yang masih lengkap dengan setiap napas yang masih berembus seiring jatung yang sehat dan masih setia berdetak. Ahh.. ada jutaan kebahagiaan yang pernah saya rasakan dan sepertinya aktiva (kebahagiaan) yang dimiliki jauh bernilai lebih dibandingkan pasiva (kesedihan) yang ada dalam kehidupan saya.

Terbayang selintas senyuman seorang bapak tua tunanetra saat menerima selembar uang hasil penjualan kerupuk putihnya di dekat sungai kota, terlintas senyuman anak-anak “rumah gerobak” yang ada di pinggiran jalan saat ibu mereka memberikan roti yang dibagi menjadi dua, terlintas senyuman nenek pengumpul kayu di perkebunan karet saat saya memberikan salam. Indahnya senyuman kebahagiaan dan syukur yang mereka miliki saat itu. Lalu mengapa kita masih juga berat untuk tersenyum dan sekadar menghargai  kebahagian yang telah dimiliki?

Tanpa terasa waktu sudah memasuki saat imsak. Segera saya meneguk segelas air mineral yang juga merupakan salah satu kebahagiaan yang wajib dihitung dan disyukuri. Alhamdullilah. Kebahagiaan sudah ada di sekitar kita bahkan melekat pada tubuh sendiri, ternyata yang perlu dilakukan hanya menghitung kebahagiaan yang telah ada dan mensyukuri setiap detiknya.

Adzan Subuh sudah bergema, saatnya bersujud untuk memuji serta mengucapkan syukur kepada sang Maha Pencipta bersama-sama dengan  seluruh mahluk hidup di semesta.

Selamat menjalankan ibadah Shaum bagi semua keluarga dan teman yang menjalankan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun