Mohon tunggu...
Febri Jamilatul Kharima
Febri Jamilatul Kharima Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

I’m a Economics student excited about exploring the world of economics, business trends, and financial systems.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Magang Bergaji UMP: Harapan Baru atau Sekadar Janji untuk Generasi Muda Indonesia?

12 Oktober 2025   22:56 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:56 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
765 Perusahaan Siap Tampung Lebih dari 20 Ribu Peserta MagangHub Kemanker 2025 (Sumber: Actual.com)

Setiap tahun, perguruan tinggi di Indonesia meluluskan jutaan mahasiswa. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus pada kenyataannya tidak sejalan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang tumbuh tidak semudah melemparkan toga ke udara. Namun di tengah keputusasaan itu, pemerintah membawa kabar yang terdengar seperti menawarkan jalan keluar, pada Oktober 2025 pemerintah meluncurkan Program Magang Nasional, dengan janji besar: 20 ribu peserta akan menerima gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP). Bagi sebagian orang, program ini menjadi sebuah titik balik, sebuah harapan baru di tengah sulitnya mencari pekerjaan pertama setelah lulus, tetapi bagi sebagian lainnya, justru timbul pertanyaan: apakah magang bergaji ini benar-benar menjadi pembuka jalan, atau hanya sekadar menambah deret janji kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan tenaga kerja di Indonesia?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, Agustus 2025), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia masih didominasi oleh kelompok usia muda. Banyak lulusan SMA, SMK, bahkan sarjana kesulitan untuk memperoleh pekerjaan karena minim pengalaman dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Berdasarkan laporan CNN Indonesia (12 Oktober 2025) program ini akan mulai dilaksanakan pada 20 Oktober dengan melibatkan 20.000 peserta di berbagai daerah, dan memberi kompensasi setara UMP daerah masing-masing. Tujuan sederhana tapi ambisius, mewadahi proses transisi generasi muda dari dunia pendidikan ke dunia kerja dengan cara yang lebih adil. Akan tetapi, dalam praktiknya, tantangan terbesar dari program ini bukan hanya soal pendanaan atau regulasi, melainkan siapa yang benar-benar mendapatkan kesempatan. Siapa yang akhirnya lolos menjadi peserta magang nasional? Pertanyaan sederhana ini membuka dimensi sosial yang sering luput dari sorotan. 

Ilustrasi Pendaftaran Lowongan Magang (Sumber: Freepik)
Ilustrasi Pendaftaran Lowongan Magang (Sumber: Freepik)

Mahasiswa lulusan universitas ternama di kota besar biasanya memiliki koneksi lebih luas, melalui dosen, alumni, atau jaringan komunitas yang memperbesar peluang mereka. Sebaliknya, mahasiswa dari daerah kecil sering tertinggal. Kondisi ini membuat kebijakan magang yang idealnya inklusif justru berpotensi memperlebar kesenjangan sosial. Jika akses digital dan jaringan kerja tidak dibuka secara merata, maka program magang bergaji ini hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu saja, yaitu mereka yang sudah punya "modal sosial" sejak awal. Dalam kunjungannya ke Kementerian Ketenagakerjaan, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menegaskan bahwa pemerintah ingin memastikan pelaksanaan program ini berjalan sesuai aturan.

"Misalnya di Jakarta, berarti upah minimum di sini Rp5,4 juta, tiap bulannya para sarjana yang bekerja, yang magang ya dapat segitu dan tentunya nanti di daerah lain sesuai dengan upah minimum dari kota dan di daerah tersebut," (Setkab.go.id, 10 Oktober 2025). Pernyataan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyesuaikan kompensasi dengan kondisi lokal, tetapi persoalan utamanya bukan jumlah upah, melainkan siapa yang benar-benar punya akses untuk mendapatkannya.

Bertahun-tahun lamanya, budaya "magang tanpa bayaran" begitu kuat di Indonesia. Banyak perusahaan memandang peserta magang hanya sebagai "pembantu kerja", bukan calon profesional muda yang sedang belajar. Dengan hadirnya program magang bergaji ini, pemerintah ingin mengubah paradigma itu. Namun di lapangan, resistensinya masih terasa. Beberapa perusahaan justru melihat kebijakan ini sebagai beban administratif, bukan investasi sumber daya manusia. Bahkan, sebagian pihak menilai gaji setara UMP masih belum cukup menjawab persoalan. Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mengkritik keras program ini dengan menyebutnya "penghinaan terhadap lulusan sarjana": "Sekolahnya sulit, biaya mahal, jam kerja seperti operator, tapi upah dibayar hanya Rp9 ribu per jam." (Finance.detik.com, 12 Oktober 2025). Kritik ini menggambarkan jarak antara kebijakan ideal dan realitas sosial. Perubahan budaya kerja membutuhkan waktu dan komitmen dari semua pihak bukan hanya melalui regulasi.

Pelaksanaan program magang nasional melibatkan banyak pihak, pemerintah pusat, pemerintah daerah, universitas, dan perusahaan mitra. Tetapi tidak semua daerah punya infrastruktur atau mitra industri yang memadai. Kota-kota besar cenderung menjadi pusat implementasi, sementara daerah di luar Jawa masih berjuang mendapatkan kuota dan dukungan yang seimbang. Ketimpangan ini menandakan bahwa kebijakan ekonomi tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu bergantung pada jaringan kelembagaan dan kondisi sosial di wilayah masing-masing. Tanpa pengawasan yang kuat dan pemerataan peluang, program magang bergaji ini bisa berakhir hanya sebagai proyek simbolik, ramai di pemberitaan, tapi sepi di lapangan.

Program Magang Nasional bergaji UMP adalah langkah maju. Namun, agar benar-benar berdampak, kebijakan ini perlu menembus batas administratif dan melihat kenyataan sosial di lapangan, bahwa peluang kerja tidak ditentukan oleh kemampuan semata, tetapi juga oleh jaringan, budaya, dan kelembagaan yang membentuknya. Harapan besar pemerintah tidak akan berarti tanpa sistem sosial yang mendukungnya. Sebab, ekonomi yang kuat bukan hanya dibangun dari angka dan anggaran, tapi dari manusia yang saling terhubung, saling percaya, dan punya kesempatan yang sama untuk tumbuh.

Referensi

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2023). Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Kelompok Umur - Tabel Statistik. Bps.go.id; Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE4MCMy/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-kelompok-umur.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun