Mohon tunggu...
Febrihada Gahas
Febrihada Gahas Mohon Tunggu... Dosen - Menulis (bebas) biar bahagia !!!

LECTURER

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mencegah Kekerasan Pilkades di Pamekasan

13 September 2019   19:15 Diperbarui: 13 September 2019   19:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan kepala desa secara langsung, one man one vote merupakan cerminan dan buah hasil dari demokrasi saat ini, Rakyat Indonesia tidak perlu susah, kesulitan dalam hal penunjukan  kepala desa. Setiap orang yang ingin dan merasa sanggup untuk menjadi pemimpin bagi warganya berhak untuk mencalonkan diri sebagai formatur (SIAPA PUN ITU) asalkan memenuhi syarat dan ketentuan (weleh-weleh kayak panitia aja). Kepala desa saat ini,  tidak lagi ditunjuk, dipilih oleh kepala daerah dalam hal bupati ataupun gubernur. Walaupun secara pelantikanya dilakukan oleh bupati, di setiap Kabupaten. 

Nah, kemaren pas tanggal 11 September 2019, salah satu Kabupaten Pamekasan mengadakan pemilihan kepala desa serentak di 12 Kecamatan.   Diantaranya, Kecamatana Pamekasan, Kecamatan Proppo, Kecamatan Pademawu, Kecamatan Larangan, Kecamatan Pasean, Kecamatan Palengaan, Kecamatan Tlanakan, Kecamatan Galis, Kecamatan Kadur, Kecamatan Pakong, Kecamatan Waru dan terakhir Batu marmar (sumber, . Menariknya nampak wajah-wajah baru di kancah perpolitikan desa (hahahaha) yang berkompetisi dengan para calon yang sudah banyak makan-asam garam, mengetahui seluk-beluk desa. Ini menggambarkan bahwa para pemuda sekarang sudah tidak buta lagi dengan perpolitikan.

Namun setiap pemilihan serentak tidak lah selalu berjalan mulus (layaknya jalan tol), masih terdapat lokasi di  dua desa  yang berkonfilk, mengalami kekisruhan, sehinggga penghitungan suaranya ditunda, pemenangnya masih belum ditentukan oleh panitia. Oh ya sekadar mengingatkan bahwa panitia pemilihan desa bukan di bawah komisi pemilihan umum (KPU) tetapi dari pemkab setempat. Konflik pemilihan kepada di desa lebih dahsyat daripada pilpres kemaren, pasalnya warga kemaren tidak bisa dikendalikan panitia, sehingga terpaksa penghitungan suara dihentikan. Inilah kemudian yang menjadi titik rawan, terutama bagi calon kepala desa yang sedang unggul sementara. 

Jika konflik pemilihan kepala desa di dua lokasi tersebut tidak segera menemui jalan perdamaian, tidak mustahil akan berujung pada kekerasan baik bersifat verbal maupun non verbal (fisik), dikarenakan sudah ada prasangka negatif dari masing-masing calon dan pendukungnya. disamping itu, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi: pertama biaya, ongkos politik untuk menjadi kepala desa tidak murah. Minimal kepala desa harus mengeluarkan 200-300 juta (bahkan lebih), bayangkan saja jika kalah, mereka akan mengalami kerugian finansial.  Kedua. Menjadi kepala desa, terutama di Madura lebih dihargai dan prestige. Ketiga Agresivitas dari para pendukung masing-masing calon kepala desa. 

Kekerasan harus segera dicegah karena konflik sudah mengarah pada permukaan belum kepada konflik bentuk konflik laten, dimana penyelesainya agak rumit. Konflik permukaan menurut Simon Fisher, dkk lebih mudah diselesaikan karena persoalanya sudah diketahui khalayak, penyebab-penyebabnya mudah diindetifikasi, akar  masalahnya sudah jelas dan pemicunya belum begitu kompleks, krisis atau akibat konflik tidak terjadi. sehingga untuk melakukan negosiasi antar pihak berkonflik lebih ringan, tentunya negosiasi melibatkan tokoh masyarakat (Kyai, sesepuh desa, dll), akademsi konflik dan pemerintah kabupaten Pamekasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun