Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kafe Favoritku Kini Sepi: Musik Dihentikan Gara-Gara Royalti Lagu

6 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 6 Agustus 2025   12:33 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana yang Hilang Bersama Musik (Pexel.com)

Kafe kecil di Jalan Kaliurang itu dulunya tempat pelarian dari hiruk-pikuk dunia. Musik lokal yang diputar pelan-pelan menciptakan suasana hangat, seperti pelukan di tengah hari yang sibuk. Tapi sejak awal Agustus, suasana itu lenyap. Pemilik kafe memutuskan untuk menghentikan pemutaran musik karena takut dikenai royalti yang bisa mencapai jutaan rupiah per tahun.

Sebagai pengunjung tetap, aku merasa kehilangan. Musik bukan sekadar hiburan. Ia adalah bagian dari identitas tempat, dari kenangan yang terikat pada lagu-lagu yang pernah menemani kopi dan percakapan.

Royalti yang Membungkam Lagu-Lagu Lokal

Menurut Kompas.com, aturan royalti musik di ruang publik kini semakin ketat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021, pemilik usaha seperti kafe dan restoran wajib membayar royalti sebesar Rp 120.000 per kursi per tahun. Royalti ini dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), dan mencakup hak cipta serta hak terkait.

Banyak pelaku usaha kecil merasa aturan ini memberatkan. Salah satunya adalah Rifkyanto Putro, pemilik kedai kopi di Yogyakarta, yang memilih menghentikan pemutaran musik karena belum jelasnya skema pembayaran. Bahkan suara alam seperti kicauan burung pun bisa dikenai royalti jika digunakan secara komersial.

Di Jakarta, fenomena kafe hening semakin meluas. Seorang karyawan bernama Gusti mengatakan, “Tanpa musik, suasana jadi benar-benar anyep”. Beberapa pengunjung bahkan memilih tidak datang lagi karena kehilangan atmosfer yang dulu membuat mereka betah berlama-lama.

Nostalgia yang Tak Bisa Diputar Ulang

Aku masih ingat malam-malam di kafe itu, ketika lagu “Kalapuna” dari Danilla mengalun pelan, dan obrolan mengalir tanpa beban. Musik bukan hanya latar, tapi pemicu kenangan. Lagu-lagu lokal memberi warna, memberi rasa, memberi jiwa pada ruang yang sederhana.

Kini, kafe itu hening. Beberapa mencoba mengganti dengan instrumental atau lagu-lagu barat, tapi rasanya tak sama. Seorang pengunjung bernama Jeni bahkan berkata, “Sekarang musiknya instrumental, jadi lebih tenang, tapi bikin ngantuk. Vibenya hilang”.

Musik adalah bahasa emosional. Ia menghubungkan kita dengan momen, dengan orang, dengan tempat. Ketika musik dihentikan, yang hilang bukan hanya suara, tapi juga rasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun