Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Pasar Kliwon Bekonang: Tradisi Jawa yang Ramai Setiap Hari Kliwon Tiba

31 Juli 2025   01:00 Diperbarui: 31 Juli 2025   00:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ambar Purwaningrum/TribunTravel

Saya pertama kali menginjakkan kaki di Pasar Kliwon Bekonang atas ajakan ayah mertua, seorang pedagang sapi veteran. “Datanglah pagi-pagi di hari Kliwon,” katanya. Awalnya saya mengira itu hanya kebiasaan lokal. Tapi begitu tiba pukul 06.30, saya tertegun: jalan desa sepanjang tiga kilometer berubah menjadi lautan manusia. Ratusan pedagang dan pembeli tumpah ruah, menjajakan segala hal—dari sapi hingga sandal bekas, dari bibit tanaman hingga barang antik.

Pasar ini hanya buka di hari Kliwon, salah satu dari lima hari pasaran dalam kalender Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Meski hanya berlangsung dari pukul 07.00 hingga 12.00, suasananya seperti festival rakyat. Tidak ada panggung hiburan, tapi ada ritme yang hidup: suara tawar-menawar, tawa warga, dan aroma jajanan tradisional yang menggoda.

Pasaran Jawa: Kalender yang Menyusun Ritme Sosial dan Spiritual

Sistem pasaran Jawa bukan sekadar penanggalan, melainkan warisan budaya yang mengatur ritme hidup masyarakat. Hari Kliwon dianggap sakral dan penuh energi spiritual. Banyak pasar tradisional di Jawa yang hanya buka di hari-hari tertentu sesuai pasaran, seperti Pasar Legi di Kotagede atau Pasar Pon di Cirebon.

Pasar Kliwon Bekonang adalah manifestasi nyata dari tradisi ini. Pedagang dari berbagai daerah—Karanganyar, Klaten, Boyolali—datang khusus di hari Kliwon. Mereka percaya bahwa hari ini membawa keberuntungan dalam berdagang, terutama untuk komoditas seperti hewan ternak dan barang-barang ritual.

Daya Tarik Tak Biasa: Dari Sapi Gemuk hingga Setrika Antik

Salah satu magnet utama Pasar Kliwon Bekonang adalah pasar sapinya. Puluhan sapi diikat rapi di lapangan terbuka, siap ditawar. Pembeli bisa melihat langsung kondisi fisik, bertanya soal pakan, dan menawar harga. Transaksi dilakukan dengan cepat, tapi tetap penuh kehati-hatian.

Selain sapi, ada ayam, bebek, kelinci, bahkan burung puyuh. Tapi yang membuat pasar ini benar-benar unik adalah keberadaan barang-barang bekas dan antik. Helm, onderdil sepeda, perabot rumah tangga, hingga tanaman hias dijajakan dengan harga miring. Saya bahkan menemukan setrika arang antik yang masih berfungsi, dijual oleh seorang kakek yang katanya sudah 30 tahun berjualan di sana.

Pasar ini seperti museum hidup, tempat barang-barang lama menemukan pemilik baru dan cerita baru.

Tips Berkunjung: Waktu, Uang Tunai, dan Seni Menawar

Jika ingin merasakan atmosfer pasar secara utuh, datanglah sebelum pukul 08.00. Semakin siang, semakin padat, dan tempat parkir semakin sulit didapat. Bawa uang tunai dalam pecahan kecil, karena sebagian besar transaksi masih dilakukan secara langsung tanpa QRIS atau e-wallet.

Dan yang paling penting: jangan malu menawar. Di sini, tawar-menawar bukan sekadar transaksi, tapi bagian dari budaya. Bahkan jika Anda tidak membeli, proses tawar-menawar bisa jadi pengalaman sosial yang menyenangkan. Kadang, obrolan soal harga bisa berujung pada cerita hidup pedagang yang tak terduga.

Pasar Sebagai Ruang Sosial: Lebih dari Sekadar Jual Beli

Pasar Kliwon bukan hanya tempat jual beli, tapi juga ruang sosial. Di sini, orang bertemu, berbagi kabar, dan mempererat silaturahmi. Banyak warga yang datang bukan untuk belanja, tapi untuk “nggolek suasana”—mencari suasana.

Tradisi ini bertahan karena loyalitas warga dan nilai-nilai yang diwariskan. Pasar menjadi simbol keberlanjutan, bahwa di tengah modernisasi, masih ada ruang untuk budaya lokal yang hidup dan relevan. Di tengah gempuran mal dan e-commerce, pasar ini tetap berdiri sebagai ruang publik yang otentik.

Belajar Ritme Hidup dari Pasar yang Hidup Lima Hari Sekali

Saya pulang dari Pasar Kliwon Bekonang dengan lebih dari sekadar belanja. Saya membawa pulang pelajaran: bahwa ritme hidup tidak harus cepat, bahwa keberlanjutan bisa lahir dari keteraturan tradisi, dan bahwa ruang publik bisa tetap hidup jika dijaga bersama.

Pasar ini mengajarkan saya untuk menghargai waktu, komunitas, dan warisan budaya. Di hari Kliwon, saya melihat bagaimana ekonomi, spiritualitas, dan sosialitas bertemu dalam satu ruang yang sederhana tapi penuh makna.

Tips Praktis untuk Menikmati Pasar Tradisional Seperti Pasar Kliwon

- Datang pagi-pagi. Semakin pagi, semakin segar suasananya dan semakin banyak pilihan.

- Bawa uang tunai. Pecahan kecil lebih praktis untuk transaksi langsung.

- Jangan malu menawar. Ini bagian dari budaya, bukan sekadar soal harga.

- Ajak teman atau keluarga. Pengalaman pasar lebih seru jika dibagi.

- Jangan buru-buru. Nikmati ritme pasar, dengarkan cerita pedagang, dan rasakan atmosfernya.

Pasar Kliwon Bekonang bukan hanya pasar. Ia adalah cermin dari masyarakat yang masih menjaga tradisi, merawat ruang sosial, dan memberi ruang bagi ekonomi rakyat. Di tengah dunia yang serba cepat, pasar ini mengingatkan kita bahwa kadang, yang paling bermakna justru hadir lima hari sekali—dan hidup sepenuhnya selama lima jam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun