Aku tidak pernah merencanakan untuk mengkhianatinya. Tidak ada skenario, tidak ada niat jahat. Tapi malam itu, di tengah percakapan ringan dengan seseorang yang dulu hanya teman biasa, aku merasa... hidup. Seolah ada bagian dari diriku yang selama ini tertidur, tiba-tiba terbangun.
Selingkuhku bukan soal cinta. Bukan soal seks. Bahkan bukan soal ketidakbahagiaan. Itu soal momen. Dorongan sesaat. Rasa ingin tahu. Dan itulah yang membuatnya lebih menakutkan.
📌 Menurut studi dari University of Queensland, orang dengan sifat impulsif cenderung lebih mudah tergoda untuk selingkuh karena mereka tidak berpikir panjang saat dihadapkan pada situasi menggoda. Mereka bertindak berdasarkan dorongan, bukan pertimbangan.
Aku tahu aku punya kecenderungan itu. Aku sering membeli barang yang tidak aku butuhkan. Membalas pesan tanpa berpikir. Mengambil keputusan cepat, lalu menyesal. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa impulsif bisa merusak sesuatu yang selama ini aku jaga: hubungan.
📌 IDN Times menulis bahwa banyak perselingkuhan terjadi bukan karena hubungan yang buruk, tapi karena individu merasa terlalu nyaman hingga kehilangan “spark”. Mereka mencari sensasi, bukan solusi.
Dan aku, malam itu, sedang kehilangan percikan. Hubunganku baik-baik saja. Kami tertawa, berbagi tugas rumah, merencanakan liburan. Tapi di dalam, aku merasa datar. Tidak ada lagi deg-degan, tidak ada lagi rasa ingin ditaksir. Lalu seseorang datang, memberi perhatian kecil, dan aku tergoda.
📌 Hello Sehat menyebutkan bahwa dorongan untuk selingkuh bisa muncul dari kebutuhan validasi, rasa tidak dihargai, atau sekadar ingin merasa diinginkan. Bahkan jika pasangan sudah memberikan cinta, ada bagian dari diri yang tetap merasa “kurang.”
Aku tidak menyalahkan pasangan. Aku menyalahkan diriku sendiri. Karena aku tahu batas, tapi aku melangkah. Aku tahu risikonya, tapi aku tetap memilih. Dan itulah yang membuatku sadar: selingkuh impulsif bukan kecelakaan. Ia adalah keputusan yang diambil dalam ketidaksadaran.
📌 Kompasiana menulis bahwa perselingkuhan bukan khilaf, tapi serangkaian pilihan kecil yang akhirnya membentuk pengkhianatan. Membalas pesan, menyembunyikan percakapan, membandingkan pasangan dengan orang lain—semua itu bukan tidak sengaja.
Setelah semuanya terungkap, aku tidak bilang “aku khilaf.” Aku bilang “aku salah.” Dan dari sana, aku mulai belajar tentang kontrol diri. Tentang mengenali dorongan sebelum bertindak. Tentang menarik napas sebelum membalas pesan. Tentang berkata “tidak” meski hati berkata “ya.”