"Uang suami itu uang istri, uang istri ya... uang istri juga." Candaan itu sering terlontar di arisan keluarga, dan awalnya membuatku tergelak. Tapi belakangan, setiap kali mendengarnya, ada bagian dari diriku yang tak lagi bisa ikut tertawa.
Aku dan istriku dulu punya kesepakatan yang kami anggap "dewasa": gajiku adalah milikku, gajinya adalah miliknya. Kami membagi beban rumah tangga berdasarkan kesepakatan nominal. Cicilan rumah aku yang tanggung, ia urus kebutuhan dapur dan anak. Sisanya? Bebas. Katanya, itu bentuk kebebasan finansial.
Dan jujur saja, kami merasa bangga. Seolah modernitas dan individualitas menjadikan kami pasangan ideal yang tidak saling mengganggu urusan dompet.
Namun, kebanggaan itu mulai runtuh perlahan. Aku tidak sadar kapan tepatnya---mungkin ketika aku diam-diam kecewa melihat ia beli jam tangan mahal, padahal aku baru menunda servis mobil karena merasa pengeluaran rumah sedang tinggi. Atau ketika ia mengeluh tentang lelahnya menanggung biaya sekolah sendiri, padahal aku berpikir itu bagian dari kesepakatan awal.
Kami mulai menyimpan resah diam-diam. Tak pernah bertengkar soal uang, tapi sering kali merasa tak dimengerti. Uang tak pernah jadi topik utama, tapi selalu ada di sela-sela keluhan, keputusan, dan asumsi yang tak dikatakan.
Sampai suatu malam, saat kami sama-sama duduk di ruang tamu sambil menggulir berita tentang pasangan yang cerai karena utang tersembunyi, istriku berkata dengan suara pelan, "Kamu tahu nggak sih, kadang aku takut kalau kamu punya masalah keuangan dan kamu nggak cerita."
Aku tersentak. "Aku pikir kamu nggak mau tahu," jawabku lirih.
Ia menatapku, tak dengan marah, tapi dengan kesedihan yang tak biasa. "Aku cuma pengin jadi bagian dari hidupmu. Termasuk bagian yang kamu anggap rapuh."
Malam itu kami bicara tanpa batas. Tentang rasa aman yang semu, tentang kebebasan yang ternyata membawa jarak, dan tentang mimpi-mimpi yang belum pernah kami rancang bersama. Kami mulai menyusun ulang: bukan siapa bayar apa, tapi bagaimana uang bisa jadi bagian dari percakapan, bukan sumber ketegangan.
Kami membuka rekening bersama---tidak untuk menyatukan segalanya, tapi untuk menyatukan niat. Kami menyepakati transparansi, menyusun anggaran bukan untuk kontrol tapi untuk berbagi.