Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Humor

Betapa Beragamnya Menu Buka Puasa di Kampung Kami

16 Mei 2020   09:09 Diperbarui: 16 Mei 2020   09:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: /akurat.co

Kalau tidak salah ingat, di tahun 2012 harian Kompas menurunkan liputan kuliner setiap daerah. Liputan berlangsung sekitar sepekan dan tayang setiap hari (ini juga kalau tidak salah ingat). Tetapi, intinya, feature semacam itu ada.

Nah, ketika tiba giliran kuliner masyarakat di Sulawesi Selatan, jurnalis Kompas menuliskan hasil wawancaranya dengan beberapa narasumber dengan heran. Saya coba tuliskan keherananannya itu (demi tuhan saya bertaruh menolak lupa), yang kira-kira, intinya begini:

 

"...pukul delapan pagi, si A membeli bassang sebagai menu sarapan. Habis itu, ia duduk di teras rumahnya minum kopi dengan sajian kue seperi apang, putu cangkiri, dan pawa. Tak lama kemudian, ia menelepon temannya untuk makan coto di jalan Gagak, salah warung coto paling terkenal di Makassar..."

Rutinitas semacam itu bisa dibolak-balik. Kadang makan coto dulu, baru kemudian bassang, lalu beragam jenis kue. Sebenarnya tidak perlu heran juga sih, kan temanya soal kuliner. Tetapi, ketika semua jenis makanan itu dimakan, si narasumber merasa belum makan. Duaaarrrr!!!

Sebagai orang Bugis, saya perlu membenarkan keheranan jurnalis asal Jawa itu sekaligus mengamini perilaku narasumbernya yang sudah menjadi kelakukan komunal masyarakat di Sulawesi Selatan. Bagi kami, makan itu baru afdol kalau sudah makan nasi, tentu saja dilengkapi bejibun lauk pauk. Jadi, bassang yang mengandung karbohidrat itu karena berbahan jagung hanyalah cemilan. Terus, kue apang, putu cangkiri, pawa, dan coto itu apa. Ya, bagi kami, tetap cemilan juga.

Prolog di atas saya kira sudah cukup untuk menggambarkan menu buka puasa di meja makan kami. Asal kalian tahu saja, kami tidak mengenal apa itu takjil yang hanya berupa dua potong kue dengan teh kotak, misalnya. Puasa bagi kami adalah perjuangan. Seharian berpuasa harus ditebus dengan beragam menu. Tolong, jangan dianggap balas dendam dong, ini hanya sebatas menuntaskan rindu.

Supaya lebih kontekstual, realistis, dan menghindari sesat pikir dalam menyimpulkan. Saya ambil contoh di kampung saya yang masih masuk wilayah Sulawesi Selatan. Tata kelola menyiapkan sajian buka puasa yang banyaknya serasa mau hajatan atau membuka warung makan. Buka puasa kemarin saja, selain pisang ijo, jalang kote rasa keju, pawa, donat, es buah, teh, kopi. Selanjutnya ada konro, sop saudara, atau coto. Ikan bandeng bakar, sayur tiga macam, dan nasi.

Apakah semua menu itu langsung dimakan untuk membatalkan puasa. Persisnya tidak seperti itu juga. Sebuas-buasnya kami makan, kami juga perlu mengikuti prosedur berdasarkan petuah ahli gizi.

Menu pembuka dimulai dulu dengan yang ringan-ringan. Dua gelas es buah dan sepiring pisang ijo. Selanjutnya ada selingan minum teh atau kopi. Namun, ada juga yang langsung memulainya dengan yang marxis-marxis. Pemahaman kami dengan parafrasa: berbukalah dengan yang marxis marxis bukan yang manis-manis ya.

Kami meyakini yang marxis-marxis itu berat. Dilan saja tak bakal sanggup memikulnya. Jadi, yang berpaham seperti ini buka puasanya adalah makanan kelas berat seperti konro atau ikan bakar dengan dua piring nasi. Tetapi, semua akan berbuka dengan yang marxis marxis bila menghadiri undangan bukber.

Soal bukber itu sendiri merupakan perwujudan dari perjuangan dan ajang konsolidasi. Di momen inilah bisa disaksikan bagaimana massa berpaham marxis berkumpul membicarakan masa depan mereka dan berbagi info kalau Ramadan kali ada berapa hajatan bukber. Biasanya undangan bukber diumumkan sehari sebelumnya melalui pelantang suara di masjid. Marbot akan menyerukan: wahai kaum marxis se kampung. Bersatulah!. Besok ada undangan bukber di rumah kamerad Haji Syamsuddin.

Saban tahun di kampung kami, selalu saja ada rumah tangga yang menggelar bukber. Hal ini juga menjadi ukuran indeks munculnya orang kaya baru. Jika misalnya, Ramadan tahun lalu cuma empat rumah tangga menggelar bukber dan Ramadan kali ini bertambah jadi lima atau tujuh, itu artinya di kampung kami banyak perantau sukses yang mudik.

Jika berkurang maka seenak perut menyimpulkan kalau Ramadan tahun sebelumnya lailatul qadar tidak turun di kampung kami. Karena pandemi Covid-19, Ramadan kali ini dipastikan bukber ditiadakan, hal inilah yang membuat mereka yang berpaham marxis meradang.

Oh iya, di kampung kami juga menjalankan solidaritas sosial dengan berbagi menu buka puasa. Upamanya begini, kalau ada tetangga datang membagi es buah, maka kami membalasnya dengan kue pawa atau kue lain yang tersedia. Walau kue itu kami yakini juga ada di meja makannya sebagaimana tetangga itu percaya kalau kami juga membuat es buah.

Lah, kalau menunya sama, inti berbaginya di mana. Di situlah letak misterinya dan salah satu alasan mengapa Ramadan begitu dirindukan dan menangisinya menjelang berakhir. Momen sedih ini bukan hanya milik para uztas yang bakal kehabisan kontrak ceramah keliling atau penjual cendol musiman di pinggir jalan. Bukan, sama sekali bukan. Kesedihan membuncah bagi saya, karena harus menunggu setahun lagi menikmati parade kuliner. Kalau saya belum modar ya.

Demi Tuhan, perilaku berbuka di kampung kami yang seperti itu bukan bentuk kesombongan, kalau dikatakan naf mungkin saja. Tetapi begitulah adanya, saya juga heran mengapa bisa demikian. Bukankah seharusnya bulan puasa menjadi ruang introkspeksi diri dalam segala hal.

Harusnya lebih banyak menjalankan segala jenis ibadah dan sedikit makan. Eh, yang terjadi justru, bukannya mengurangi biaya hidup malah semakin bertambah. Nampaknya, memang, Ramadan di kampung kami lebih dari ibadah, tetapi sudah menjadi festival kuliner. Begitulah, Ferguso! Kalau kau mau tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun