Mohon tunggu...
F. Chaerunisa
F. Chaerunisa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Akun ini sudah tidak aktif.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

Zonasi, Kesalahan Kritik Kita, dan Regulasinya

11 Juli 2019   01:54 Diperbarui: 25 Juni 2020   07:33 1790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kegiatan belajar. (sumber: pixabay)

Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang dalam Bagian Keempatnya mengatur sistem zonasi telah berjalan pada tahun ketiga. 

Namun, regulasi ini masih belum berhasil memuaskan kebanyakan masyarakat. Bukan hanya saya, Anda pun sering mendengar keluh kesal orang tua dan calon siswa terkait dengan sistem zonasi ini, kan? Atau bahkan, Anda merupakan salah satu dari sekian orang yang berkeluh kesah?

Seorang kenalan saya benar-benar mengutuk sistem ini. Dalam pendapatnya, calon-calon murid yang memiliki potensi lebih baik ketimbang calon-calon murid lainnya beresiko besar untuk "ditendang" dari sekolah-sekolah yang dianggap lebih baik oleh masyarakat, hanya karena jarak tempat tinggalnya ke sekolah lebih jauh dari calon-calon murid yang biasa saja itu. Ini sangat beralasan. 

Zonasi memberikan peluang bagi 90% calon peserta didik untuk masuk ke dalam sekolah negeri yang dekat dengan rumah mereka. 

Akan sangat menguntungkan jika murid yang dianggap biasa-biasa saja bisa melanjutkan jenjang pendidikannya di sekolah yang dianggap favorit akibat faktor kedekatan rumah mereka dengan sekolah itu. 

Bukankah merasakan pendidikan di sekolah favorit seharusnya membutuhkan perjuangan yang lebih ketimbang hanya jarak rumah ke sekolah?

Pendapat itu kemudian mengantarkan masyarakat pada pendapat kontra zonasi lainnya: sistem zonasi dianggap berpotensi menurunkan jiwa kompetitif di antara calon murid, lantaran calon murid akan cenderung "pasrah" pada jarak antara rumah mereka ke sekolah. Lebih lanjut, hal ini memungkinkan turunnya semangat siswa untuk bersekolah. 

Senada dengan itu, Lidya (nama samaran) yang diwawancarai oleh Tim Kumparan dalam youtube content berjudul "Zonasi Datang, Sekolah Favorit Hilang" menyatakan bahwa ia gagal melanjutkan studi di kedua SMA pilihannya. 

Hal itu sempat menghilangkan semangatnya untuk bersekolah, meskipun beberapa waktu setelahnya ia dapat lebih legowo untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang bukan merupakan keinginannya.

Tapi, bukankah memang itu tujuannya? Tujuannya memang tidak lain untuk menghapus stigma "sekolah favorit" dan "sekolah sisa" di masyarakat sehingga murid-murid berpotensi tidak menumpuk pada satu sekolah saja. 

Jika masyarakat mengkritik pemerintah karena zonasi menyebabkan calon-calon siswa gagal melanjutkan sekolah di sekolah-sekolah favorit atau unggulan, maka pemerintah tidak akan bergeming, malah akan berasumsi bahwa kebijakan ini sudah maju satu langkah menuju keberhasilan.

Lantas, apa yang salah dari zonasi sehingga menimbulkan polemik yang menahun begini?

Pertama, dalam Permendikbud No. 17 Tahun 2017 Pasal 15 Ayat (3), diatur bahwa radius zona terdekat diatur oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasarkan jumlah ketersediaan daya tampung dan ketentuan rombongan belajar masing-masing sekolah dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut. Poin ini, di atas segalanya, mengganggu pikiran saya.

Katakanlah Kabupaten A menerapkan zona yang dimaksud berdasarkan jumlah kecamatan. Kabupaten A memiliki 10 kecamatan, maka dibagi menjadi 2 zona. 

Zona X terdiri dari 4 kecamatan dan 12 SMA Negeri, sedangkan Zona Y terdiri dari 6 kecamatan dengan jumlah 10 SMA Negeri. Akibatnya, para calon siswa SMA di Zona X akan mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah yang lebih besar ketimbang kawan-kawan mereka yang tinggal di Zona Y.

Ini benar-benar terjadi. Di Kota Tangerang, level SMP terbagi dalam tiga zonasi. Di Zona 1 yang melingkupi kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah, dan Pinang hanya terdapat enam SMP. Sementara di Zona 2 yang melingkupi lima kecamatan terdapat 15 SMP. Di Bojonggede, Bogor, hanya terdapat 1 SMA Negeri.

Kedua, masih timpangnya kualitas pendidikan di beberapa daerah sepanjang nusantara. Dalam tataran mikro, mungkin ketimpangan tidak terlalu mencolok. 

Saya mencoba membandingkan dua sekolah di Kecamatan Cibinong. Dalam hal ini, sekolah yang dianggap unggulan yang saya ambil merupakan mantan penyandang "RSBI", SMAN 2 Cibinong. Sebagai pembanding, SMAN 3 Cibinong.

Dari segi fasilitas, kedua sekolah memang hampir tidak memiliki perbedaan. Jumlah laboratorium, perpustakaan, dan sarana sanitasi siswa adalah sama di kedua instansi. 

Beitu pula dengan kesediaan akses internet. Perbedaan dari keduanya tampak pada rasio siswa guru (20,39 untuk SMAN 2 Cibinong dan 23,64 untuk SMAN 3 Cibinong), persentase guru PNS (67,86 untuk SMAN 2 Cibinong dan 59,57 untuk SMAN 3 Cibinong), serta persentase guru sertifikasi (60,71 untuk SMAN 2 Cibinong dan 57,45 untuk SMAN 3 Cibinong).

Namun dalam tataran makro, ketimpangan dapat dilihat secara jelas dari penyebaran dana bos yang lebih besar untuk sekolah-sekolah di provinsi yang cenderung lebih maju ketimbang provinsi lain. 

Sebut saja, DKI Jakarta selama 3 triwulan terakhir di 2018 mendapatkan kucuran dana BOS dengan besaran rata-rata 155,3 milyar rupiah untuk sekitar 1.250 sekolah. 

Sementara itu, sekitar 1.650 sekolah di Kalimantan Barat hanya menerima 127,2 milyar rupiah dari dana BOS. Sekolah-sekolah negeri di Jakarta mungkin memiliki sarana-prasarana serta fasilitas yang lebih baik ketimbang sekolah-sekolah negeri di Kalimantan Barat, sebab dana yang mereka terima pun jumlahnya berbeda. Hal ini jelas mempengaruhi kualitas pendidikan di tiap sekolah.

Terkait dengan persoalan pertama, rancunya pengertian "zona" dalam sistem zonasi, Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus berkoordinasi serta menerapkan satu format dalam pembagian zonasi di masa mendatang. 

Pemerintah harus terlebih dahulu memperhitungkan jumlah lulusan SD dan SMP di satu wilayah. Sekolah juga perlu memperhitungkan jumlah sekolah dan daya tampungnya. Atas dasar perhitungan tersebut, pemerintah dapat menentukan "zona" yang dimaksud dalam sistem zonasi agar lebih jelas dan tidak rancu.

Untuk masalah perbedaan kualitas antara sekolah favorit dan yang biasa-biasa saja kiranya dapat dikejar dalam waktu dekat, seiring berjalannya sistem zonasi. Mengingat bahwa pada dasarnya, yang menjadikan sebuah sekolah lebih unggul dari yang lain merupakan stigma dari masyarakat -- yang juga ingin dihapus melalui sistem zonasi ini. Kalau bicara fasilitas, toh, tidak beda jauh.

Namun, perhatian pemerintah sebaiknya tidak terfokus dalam kemerataan pendidikan pada tataran mikro saja. Pendidikan berbasis jawasentris nyatanya masih langgeng hingga kini. Anda dapat membuktikannya dengan membandingkan besaran dana BOS yang diterima oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dengan provinsi-provinsi di luar Jawa. Saya kira ini yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih.

Pada akhirnya, sistem zonasi ini memiliki tujuan yang sangat baik. Hanya saja, pelaksanaannya memerlukan langkah-langkah yang tepat, agar sistem ini juga tepat sasaran (tujuan). 

Selain itu, para birokrat sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk tidak "bermain" dengan sistem ini agar dapat mendukung terhapusnya stigma "sekolah favorit" dan "sekolah sisa". 

Para orangtua/wali dan para calon siswa sebaiknya tidak berkecil hati karena tidak bisa merasakan "sekolah favorit". Sebaliknya, berbanggalah karena telah menjadi bagian dari proses penghapusan stigma di masyarakat.

Referensi:

[1] Kumparan. 2019. Zonasi Datang Sekolah Favorit Hilang (Konten Youtube).

[2] Aji, Setyo. 2018. Polemik Sistem Zonasi dan "Format Masa Depan" PPDB.

[3] Kementrian Keuangan Republik Indonesia. 2019. APBN 2019.

[4] Kementrian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia. 2018. Status Pencairan BOS Tahun 2018.

[5] Kementrian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia. 2018. SMAN 2 Cibinong.

[6] Kementrian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia. 2018. SMAN 3 Cibinong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun