Nilainya sama: menyampaikan pesan, membangun kebersamaan, dan menjaga jati diri.
Mungkin inilah bentuk baru dari pepatah lama:
"adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, qanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. Hukom ngen adat lagee zat ngom sifeut."
Pepatah ini merefleksikan sistem nilai yang terstruktur dalam kehidupan masyarakat Aceh. Setiap unsur memiliki peran simbolik yang saling melengkapi: adat berfungsi sebagai pedoman sosial, hukum sebagai dasar moral dan keagamaan, qanun sebagai wujud kebijakan yang berkeadilan, serta reusam sebagai tata laku yang menegakkan kedisiplinan. Kesatuan antara hukum dan adat diibaratkan seperti zat dan sifat tidak dapat dipisahkan tanpa menghilangkan hakikat keduanya. Dalam konteks pelestarian bahasa, pepatah ini menegaskan bahwa bahasa merupakan medium utama yang menghidupkan adat dan hukum tersebut. Hilangnya bahasa berarti terputusnya transmisi nilai budaya dan kearifan lokal yang selama ini menjadi fondasi peradaban Aceh.
Dalam konteks kekinian, transformasi nilai-nilai tersebut menghadapi tantangan baru di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital. Ruang sosial yang dahulu berpusat di meunasah---tempat masyarakat belajar bahasa, adat, dan agama kini bergeser ke ruang digital yang diwakili oleh media sosial, forum daring, dan berbagai platform komunikasi modern. Pergeseran ini menuntut adaptasi tanpa kehilangan esensi. Oleh karena itu, pelestarian bahasa Aceh tidak lagi hanya bergantung pada ruang fisik dan interaksi langsung, tetapi juga pada kemampuan masyarakat untuk menghadirkan bahasa dan nilai-nilainya di ruang digital. Dengan demikian, dari meunasah ke hashtag, bahasa Aceh dapat tetap hidup sebagai simbol kontinuitas budaya sekaligus bukti bahwa kearifan lokal mampu bertransformasi seiring perubahan zaman.
Generasi muda Aceh tidak kehilangan tradisi; mereka sedang menulis ulang tradisi itu dalam bahasa zaman mereka sendiri.
Keseimbangan antara Akar Budaya dan Modernitas
Peradaban yang kuat tidak lahir dari penolakan terhadap masa depan, melainkan dari kemampuan berdiri tegak di atas akar masa lalu. Dalam derasnya arus modernitas, budaya bukanlah beban yang menahan, tetapi jangkar yang menjaga agar kita tidak hanyut kehilangan arah
Ada masa di mana bahasa menjadi jembatan, bukan batas. Di masa itu, orang Aceh menuturkan hikayat untuk memahami dunia; kini, generasi baru menulis status untuk memahami diri. Bentuknya berbeda, tapi inti pencarian itu sama mencari makna di tengah riuhnya perubahan.
Modernitas tidak selalu berarti meninggalkan masa lalu, sebagaimana kemajuan tidak harus memutus akar. Justru akar itulah yang membuat pohon tetap berdiri di tengah badai waktu.
Bahasa Aceh adalah akar yang menahan identitas di tengah arus globalisasi. Ia bukan batu yang menghalangi langkah, melainkan tanah yang menumbuhkan pijakan.