Di tanah yang diapit oleh samudra dan sejarah, bahasa Aceh bukan sekadar alat ucap ia adalah napas yang menenun kehidupan, dari doa subuh di surau kecil hingga gelak tawa di warung kopi. Dalam setiap katanya, tersemat jejak masa lalu: kisah, doa, dan luka yang menyatu menjadi budaya.
Bahasa adalah rumah pertama bagi manusia. Di sanalah pikiran, emosi, dan identitas berdiam. Bagi orang Aceh, bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan napas yang menghidupkan seluruh aspek kehidupan dari sapaan sederhana "peu haba?" hingga syair hikayat yang dilantunkan pada malam panjang penuh bintang.
Orang Aceh mengenal bahasa mereka bukan hanya lewat suara, tapi lewat hikayat cerita panjang yang dibacakan dengan irama. Hikayat Prang Sabi, misalnya, bukan sekadar kisah perang, melainkan seruan spiritual tentang keberanian dan pengorbanan demi keyakinan dan kehormatan. Dalam bait-baitnya, terselip nilai-nilai luhur: tentang keteguhan hati, keikhlasan, dan cinta pada tanah sendiri.
Bahasa Aceh dalam hikayat berfungsi ganda: ia menghibur, mendidik, dan menguatkan. Melalui kata, masyarakat belajar tentang siapa mereka dan apa yang mereka junjung. Seorang anak Aceh tumbuh bukan hanya dengan cerita, tetapi dengan ritme bahasa yang membentuk jati dirinya keras di luar, lembut di dalam.
"Peumulia jamee adat geutanyoe," kata pepatah lama. Memuliakan tamu adalah adat kita. Kalimat sederhana itu merangkum inti budaya Aceh: kehormatan, keramahan, dan kedamaian. Dalam bahasa, Aceh menyembunyikan filosofi sosial bahwa damai bukan berarti diam, melainkan hidup berdampingan dengan rasa hormat dan kebersamaan.
Namun, bahasa Aceh juga menyimpan keheningan yang mulai terasa asing di generasi baru. Di sekolah-sekolah dan rumah-rumah di kota-kota, bahasa Aceh sering disamakan dengan "bahasa kampung." Padahal, justru di sanalah akar kebijaksanaan lokal itu tumbuh.
Bahasa daerah sering dianggap tua, padahal ia menyimpan peta nilai yang kita butuhkan untuk bertahan di dunia yang semakin seragam. Dalam masyarakat Aceh, bahasa bukan hanya media komunikasi, melainkan pengikat moral yang menuntun manusia untuk tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam.
Setiap lekuk bahasa membawa pesan budaya yang tak tergantikan. Itulah sebabnya, melestarikan bahasa Aceh bukan sekadar upaya linguistik, tetapi juga spiritual menjaga cara pandang terhadap dunia yang lebih halus, lebih manusiawi.
Dalam konteks Indonesia yang multibahasa, bahasa Aceh adalah satu warna dari lukisan besar kebangsaan. Ia mengingatkan kita bahwa damai tidak berarti sama, melainkan selaras dalam perbedaan. Seperti nada dalam orkestra, setiap bahasa daerah menyumbang keindahan dan harmoni bagi Indonesia yang damai.
Transformasi Digital dan Generasi Muda Aceh