Sudah seminggu perkebunan kentangku tidak beroperasi. Perkebunan 12 hektar ini biasa ramai oleh pekerja. Kini sepi. Hanya penyiram otomatis perkebunan yang masih menyala lemah. Perkebunanan yang sudah berjalan 8 tahun ini mau diambil alih secara paksa oleh persekutuan penguasa dan yang mengaku putra daerah.
Berbagai persoalan dibawa untuk memperkarakan perkebunanku yang telah maju dan modern ini. Mereka bilang lahan perkebunanku berada di hutan lindung, tanah adat, persoalan lingkungan, atau tanah milik pemerintah daerah. Semua dicari-cari alasan yang tampak benar di pihak mereka dan salah di pihakku.Â
Aku sudah seminggu di perkebunan yang terletak di punggung bukit ini. Sendiri. Dari bale pondok kebun, kupandangi perkebunan kentangku. Tiga hektar tanaman kentang siap panen, tiga hektar sedang masa pembuahan, tiga hakter sedang ditanam bibit, dan tiga hektar lagi lahan baru yang sudah dibersihkan dari semak dan pepohonan, dan hendak kami bajak. Semua telah dikelola dan diatur jadwal tanam kentang dengan baik agar bisa panen setiap 1 bulan sekali.Â
Langit biru. Matahari terik serasa dekat di atas bukit ini tapi angin tetap dingin. Awan kumulus pun tampak bergerombol begitu dekat.
Kulihat mereka datang dengan tiga mobil. Mereka, manusia-manusia anj*ng itu datang bergerombol dan berhenti tepat di depan rumah pondok kebunku. Mereka turun dari mobil. Tak kupersilakan mereka masuk atau duduk di bale. Kubiarkan berdiri di bawah garang matahari.
Mereka terdiri orang dinas tak kutahu nama, si Idham orang kecamatan, Sulaiman si kepala kampung, dua orang polisi, dan Hasbi mantan mandor di perkebunanku.
"Hari ini akan ada pemaksaan. Kami bawa polisi dan orang pemerintahan. Kalau masih melawan, akan ada kekerasan," ujar Sulaiman tanpa basa-basi. Nadanya lembut. Anj*ng dia!
"Tinggalkan perkebunan ilegal ini secara baik-baik," Orang dinas menimpali. "Tak ada hak secara hukum, tanah ini milik kamu. Kita sudah bahas ini di pertemuan-pertemuan sebelumnya sampai ke tingkat kabupaten." Orang dinas berbaju coklat itu sok berwibawa. Anj*ng juga dia! Dia bicara ilegal seolah aku merambah lahan suka-suka hati.Â
"Sudah cukup kamu keruk keuntungan dari tanah leluhur kami. Pergilah!" kini si Idham orang kecamatan bicara. Dia mengeluarkan surat palsu dari kecamatan. Aku tertipu. B*bi dia!Â
Di belakang Idham, Hasbi berdiri terpekur. Dia tak berani bicara padaku. Tak berani menatapku. Masih bersalah padaku. Namun hatinya menyimpan serakah. Semua mereka menyimpan api. Termasuk dua polisi itu.