Mohon tunggu...
Fatimah Azzahra
Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Kalau dunia ga baik ke kamu, kamu harus tetap baik sama dirimu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gimana Rasanya menjadi Kaum Minoritas di Antara Kaum Mayoritas?

28 Oktober 2022   13:29 Diperbarui: 28 Oktober 2022   13:39 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Foto bersama Mahasiswa Nasrani dan Paguyuban Mahasiswa Papua (dokpri)

Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke serta memiliki banyak keberagaman membuat kalimat "Bhineka Tunggal Ika" menggambarkan filosofi bahwa Indonesia memiliki banyak perbedaan tetapi tetap ada persatuan di dalamnya. Keberagaman yang ada seperti agama, ras, suku, budaya dan bahasa membuat seluruh masyarakat Indonesia bisa menjalankan kehidupan secara damai dan tentram. Apalagi perbedaan dari segi agama dan ras yang bisa terlihat jelas sehingga menjadi acuan untuk bisa bersosialisasi dengan situasi sekitar.

Petukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang sedang saya lakukan membuat diri ini mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Dipertemukan oleh orang-orang pilihan yang membawa almamater kebanggannya dari universitas di seluruh wilayah Indonesia dan disatukan dalam kota yang multikultural diantara kota di provinsi Aceh yaitu Kota Langsa. Mengapa demikian? Karena kota ini memiliki tingkat kemajemukan yang relatif tinggi dengan kedatangan para transmigrasi dan para pendatang lainnya pada zaman kolonial Belanda sehingga kehidupan masyarakat minoritas bisa berjalan berdampingan dengan masyarakat mayoritas.

Universitas Samudra terletak di tengah kota Langsa adalah universitas yang saya tuju sebagai tempat untuk bertukar sementara. Awalnya saya mengira bahwa universitas ini berada di pronvinsi Aceh yang mana hanya terdapat mahasiswa dengan mayoritas muslim dan memiliki keberagaman yang sama, tapi nyatanya statement itu dipatahkan ketika waktu saat pertama kali tiba dan mengikuti kegiatan perdana kuliah umum dengan seluruh mahasiswa baru, terdapat mahasiswa yang tidak menggunakan hijab dan mahasiswa berasal dari Papua. Tanpa kita sadari Papua dengan Aceh sangat jauh tata letaknya yang mana sama-sama berada dititik terujung Indonesia. Tapi mengapa teman-teman memilih Langsa sebagai tempat untuk menimba ilmu? Lalu bagaimana rasanya menjalani kehidupan di tengah masyarakat yang mayoritas? Mari kita dengar cerita mereka!

Gambar 2. Duduk Bareng melakukan mini riset. dokpri
Gambar 2. Duduk Bareng melakukan mini riset. dokpri

Pada kali ini saya berkesempatan bisa duduk bareng dengan perkumpulan mahasiswa nasrani dan paguyuban mahasiswa Papua. Saling bertukar cerita dari sudut pandang yang berbeda, membuat saya bisa memahami arti dari kata toleransi. Kak Riris, Kak Ayu dan Kak Raju adalah mahasiswa angkatan 2017  dan sekarang berada dalam semester tingkat akhir yang mungkin sebentar lagi akan mendapatkan gelar sarjana. Mereka berasal dari Medan yang notabennya berada dalam lingkungan keberagaman dan budaya yang dominan masyarakat mayoritas nasrani.

“Mengapa kakak-kakak memilih Universitas Samudra menjadi pilihan untuk menimba ilmu?” ucap saya

“Sebenarnya dahulu kami melihat di google bahwa universitas ini berada di Medan, tetapi setelah kami diterima ternyata berada yang cukup jauh yaitu di Kota Langsa Aceh.” ucap kak Raju

Tata letak universitas yang berbeda diluar ekspetasi menimbulkan perasaan culture shock bagi mereka. Dahulu kota ini belum seterbuka sekarang, ketika melihat seseorang tidak menggunakan hijab langsung ditatap seolah-olah terintimidasi. Dikarenakan bagi masyarakat setempat bahwa provinsi Aceh memiliki julukan Serambi Mekah, sehingga semua sikap atau perilaku setiap harinya dengan berlandaskan syariat Islam. Tapi semakin kesini mereka dapat menyesuaikan situasi dengan dibantu perkembangan era zaman yang semakin modern sehingga membuat masyarakat setempat sudah memiliki pemikiran sudut pandang yang terbuka. Ada hal yang membuat mereka sedikit kaget yaitu pada saat bulan puasa “bulan puasa toko atau warung makan di sini tutup semua dan baru buka pas menjelang magrib, jadi kami ikutan puasa deh hehehe” ucap kak Riris.

Dalam pengalamannya selama menempuh pendidikan di Universitas Samudra banyak orang yang bisa menghargai perbedaan tanpa terkecuali pasti ada sebagian orang yang tidak. Mereka menceritakan dinamika pada semester 2, terdapat mata kuliah keagamaan yang mereka harus ambil. Ada beberapa dosen yang mempersilahkan mereka untuk diajar oleh pendeta di gereja, namun berbeda dengan Kak Raju. Ia tidak diperkenankan untuk mata kuliah ini diajarkan oleh pendeta melainkan harus mengikuti mata kuliah keagamaan Islam oleh dosen di kampus. Mau tidak mau ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa, karena baginya itu sebuah ilmu pengetahuan yang harus diketahui.

PERMANAS singkatan dari Persatuan Mahasiswa Nasrani adalah komunitas yang diikuti oleh mereka. Tujuan dari komunitas ini yaitu untuk menyambung silahturahmi dan kekeluargaan antar sesama nasrani dalam program kegiatan di dalamnya. Komunitas ini belum diresmikan dari pihak kampus, jadi untuk penanggung jawabnya masih dari pihak gereja.

“Sejak kami dari semester muda sudah berupaya meminta kepada pihak kampus untuk diresmikannya komunitas atau organisasi ini, agar mempermudah dalam kami melakukan program kegiatan. Sekarang sedang diusahakan kembali oleh adik tingkat, karena kami berpikir bahwa UNSAM sekarang sudah menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sehingga tidak harus adanya ketidak merataan dalam keberagaman yang berbeda.” ucap mereka.

Dengan diakui oleh pihak kampus komunitas ini ketika sedang melakukan kegiatan di wilayah kampus, tidak perlu lagi untuk merasa dipandang sebelah mata oleh seluruh warga kampus.

Selain itu juga mereka yang kaum minoritas tidak diberikan ruang dalam kegiatan ranah lingkup di kampus. Ketika berorganisasi dalam keluarga mahasiswa (KM), mereka yang memiliki pemikiran yang kompeten tidak diberi kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Walaupun bagi mereka mustahil akan menang tapi setidaknya memberikan kesempatan dengan dilakukan pemilihan pemimpin. Kemudian baru saja terjadi ketidakadilan dalam kegiatan yang membawa nama kampus. Ada adik kelas mereka yang lolos juara 1 dalam perlombaan lari, namun yang mewakili kampus adalah juara 2 yang mana perbedaaan jarak larinya berbeda sangat signifikan. “Kami bingung mengapa bisa terjadi seperti itu? Sangat disayangkan jika agama yang dilihat tetapi bukan dari kemampuan.” ucap kak Ayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun