Gerakan sosial Islam di Indonesia telah mengalami transformasi yang dinamis seiring berkembangnya struktur sosial dan tantangan zaman. Tidak lagi semata-mata bergerak di bidang dakwah atau perjuangan politik keumatan, kini sebagian gerakan Islam juga mengusung isu-isu sosial yang lebih kompleks, seperti keadilan, gender, pluralisme, hingga hak-hak minoritas. Menurut Hefner (2000), keberislaman masyarakat Indonesia bukanlah suatu entitas tunggal yang homogen, melainkan hasil dari interaksi antara nilai-nilai keagamaan, budaya lokal, dan tuntutan modernitas. Oleh karena itu, kemunculan gerakan Islam yang mengangkat tema-tema non-mainstream menjadi suatu keniscayaan dalam lanskap Islam Indonesia yang semakin plural.
Salah satu isu yang memunculkan kontroversi dan sekaligus membuka ruang diskusi adalah keterlibatan kelompok dengan identitas gender non-normatif, seperti waria, dalam praktik keagamaan Islam. Kehadiran kelompok ini di ranah spiritual kerap menimbulkan ketegangan antara tafsir agama yang konservatif dan semangat inklusivitas dalam keberislaman. Gerakan sosial seperti ini mempertanyakan ulang batas-batas tradisional tentang siapa yang berhak mengekspresikan iman, serta bagaimana agama seharusnya memosisikan tubuh dan identitas yang dianggap "menyimpang". Dalam konteks waria muslim, pengakuan keagamaan menjadi salah satu sumber nilai penting yang memberi legitimasi eksistensial. Karena itu, keterlibatan dalam praktik keislaman seperti salat, mengaji, dan mengikuti pengajian menjadi sarana pembentukan identitas religius yang menyeberang batas-batas gender tradisional.
Paguyuban Waria Kendal (PAWAKA) merupakan salah satu bentuk konkret dari gerakan sosial Islam marginal yang mencoba menggabungkan pencarian identitas gender dan spiritualitas. Didirikan oleh Shunniya Rahama, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, PAWAKA hadir sebagai ruang aman dan inklusif bagi waria yang ingin menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Kegiatan mereka mencakup pengajian, salat berjamaah, hingga kegiatan sosial seperti bakti sosial. PAWAKA menampilkan potret bahwa identitas keagamaan bisa bersifat cair, dan tidak hanya melekat pada konstruksi biner laki-laki dan perempuan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa keterlibatan kelompok waria dalam ruang ibadah Islam menimbulkan resistensi yang kuat dari kelompok keagamaan konservatif. Bagi sebagian besar kalangan, identitas waria dipandang bertentangan dengan syariat Islam yang telah menetapkan peran dan batasan yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Quraish Shihab (2007) menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat batasan syariah tertentu dalam aspek berpakaian, peran sosial, dan tanggung jawab gender. Pandangan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan represif, seperti pembubaran paksa kegiatan pengajian waria oleh sebagian ormas keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa tafsir agama yang cenderung eksklusif masih menjadi arus utama dalam komunitas Muslim Indonesia. Di sisi lain, pendekatan alternatif yang diusung PAWAKA perlu dikritisi agar tidak terjebak dalam pembenaran individualistik yang melemahkan struktur kolektif ajaran Islam. Meskipun ruang spiritual alternatif bisa memperkuat hubungan personal dengan Tuhan, ia juga berisiko menegasikan aspek komunitas dan norma syar'i yang bersifat universal.
Pergulatan komunitas seperti PAWAKA bukan semata perdebatan intelektual atau teologis, tetapi juga perjuangan eksistensial yang berlangsung setiap hari. Mereka berada di antara dua tekanan besar: keinginan tulus untuk beriman dan menjalankan agama dengan khusyuk, sertakenyataan sosial yang kerap menolak keberadaan mereka.
Izudin (2017) menyatakan bahwa gerakan sosial yang ingin membawa perubahan harus membangun strategi jangka panjang yang melibatkan kerja sama, bukan hanya resistensi.PAWAKA, dalam hal ini, menghadapi tantangan besar: bagaimana menjembatani kebutuhan identitas mereka dengan norma agama yang berlaku. Pendidikan agama yang lebih inklusif, pelatihan sensitif gender bagi pemuka agama, dan forum diskusi antar komunitas bisa menjadi langkah awal. Perdebatan seputar keislaman komunitas waria seperti PAWAKA menyingkap kompleksitas hubungan antara iman, identitas, dan tafsir sosial keagamaan. Di satu sisi, kehadiran PAWAKA mencerminkan keberanian kelompok marjinal dalam merebut ruang keberagamaan yang selama ini nyaris tertutup bagi mereka. Upaya komunitas ini menunjukkan bahwa spiritualitas tidak selalu mengikuti jalur normatif, melainkan juga dapat tumbuh dari pengalaman hidup yang terpinggirkan. Dalam konteks ini, PAWAKA menjadi simbol perjuangan untuk menunjukkan bahwa iman dan identitas gender bukanlah dua kutub yang selalu bertentangan.
Namun di sisi lain, respons kritis terhadap PAWAKA juga mencerminkan kegelisahan yang valid mengenai batas-batas syariah, stabilitas sosial, serta otoritas tafsir agama. Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa keterbukaan terhadap identitas non-biner bisa mengaburkan norma-norma Islam yang mapan, bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Hal ini menjadi peringatan bahwa transformasi tafsir harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab, tanpa tergesa- gesa menanggalkan prinsip-prinsip dasar keislaman. Oleh karena itu, diskursus seputar gerakan sosial seperti PAWAKA sebaiknya tidak dibaca sebagai dikotomi antara benar dan salah, antara inklusif dan konservatif. Sebaliknya, ia perlu dilihat sebagai bagian dari proses panjang dalam mencari titik temu antara ajaran normatif Islam dan realitas sosial yang terus berubah. Dialog yang terbuka, pendidikan yang kontekstual, serta keterlibatan semua pihak dalam membangun pemahaman keagamaan yang manusiawi dan berkeadilan adalah langkah penting ke depan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI