Pagi itu, Jumat 18 Juli 2025, menjadi kesempatan yang menyenangkan bagi saya karena setelah sekian tahun, bisa mengikuti kembali kegiatan bersama Kompasiana. Bersama teman-teman Kompasianer dan tim Amartha, saya memulai perjalanan kecil yang meninggalkan kesan besar. Tujuan kami adalah mengunjungi dua sosok perempuan penggerak ekonomi desa: Ibu Lina dari Master Lemon dan Ibu Sherly dari SN Collection yang keduanya berada di kawasan Kabupaten Bandung Barat.
Ibu Lina dan Rasa Asam Perjuangan yang Kini Menghasilkan Manis
Perjalanan kami tiba di sebuah rumah sederhana di Desa Cikahuripan, Lembang. Di sanalah Ibu Lina menyambut kami dengan senyum hangat, sembari memperkenalkan sederet produk olahan lemon hasil racikannya sendiri. Siapa sangka, di balik sebotol sari lemon yang segar, tersimpan kisah perjuangan yang tidak main-main.
Ibu Lina dan suaminya mengawali usaha pertanian dari bawah. Pada tahun 2016, mereka bahkan rela menjual motor satu-satunya untuk membeli bibit lemon. "Waktu itu kami benar-benar kepepet, tapi suami saya bilang: 'Kita harus mulai dari sesuatu yang kita bisa urus sendiri, walau kecil dan usahakan tidak meminjam ke bank'. Jadi kami nekat saja," cerita Ibu Lina sambil tertawa kecil.
Awalnya, mereka mencoba menjual sayur dan susu. Tapi kemudian melihat potensi dari lemon, mereka pun beralih. Suami bertugas menanam dan membina kelompok tani. Hingga kini sudah lebih dari 50 kelompok yang terlibat, sementara Bu Lina menjadi dapur produksi. Sinergi suami istri yang solid.
Tahun-tahun awal penuh tantangan. Mereka mencari pasar sendiri, mengikuti pameran berdua naik motor, dan mencari konsumen dari pintu ke pintu. Namun, perlahan kepercayaan tumbuh, pasar terbentuk, dan produk semakin dikenal. Saat pandemi melanda pada 2020, sari lemon justru menjadi primadona. "Waktu pandemi, orang banyak cari lemon untuk jaga imun. Alhamdulillah, justru saat itu pesanan meningkat tajam", tutur Ibu Lina.
Kini, Master Lemon bisa mengolah hingga 600 kilogram jeruk segar dan memproduksi 3.000 botol sari lemon per bulan. Omzetnya menyentuh angka 15 juta Rupiah, dan produknya tersebar ke reseller di Jakarta, Bekasi, Cirebon, hingga Indramayu.
Usaha ini dimulainya sejak 2010 bersama ibunya. Dari hanya 10 macam produk, kini koleksinya mencapai lebih dari 10 variasi. Bersama dua orang karyawan, Ibu Sherly bisa memproduksi hingga 250 tas besar per bulan. Produk-produk rajutannya bahkan bisa ditemukan di tempat wisata populer seperti D'Castello Ciater, dengan harga mulai dari 30 ribu hingga 250 ribu Rupiah.
Yang menarik, sebagian besar pengrajinnya adalah para ibu rumah tangga di desa. Ibu Sherly tidak hanya merajut produk, tapi juga merajut harapan bagi perempuan sekitar untuk tetap produktif meski dari rumah.
Amartha menjadi bagian penting dalam pertumbuhannya. Sejak bergabung pada 2024, omzetnya naik dua kali lipat dari 7 juta menjadi sekitar 13 juta rupiah per bulan. Bantuan permodalan membantunya membeli bahan baku berkualitas dan meningkatkan produksi lebih banyak.
"Yang paling saya rasakan dari Amartha itu bukan cuma uangnya, tapi dorongan untuk berkembang," cerita Sherly.
Menyemai Kolaborasi untuk Tumbuh Bersama
Kisah Ibu Lina dan Ibu Sherly adalah dua dari jutaan cerita di balik angka 3,3 juta UMKM perempuan yang diberdayakan Amartha di lebih dari 50.000 desa di Indonesia. Di balik sebotol sari lemon dan tas rajut yang manis dan cantik, ada modal usaha yang aman, pendampingan yang nyata, dan sistem pendanaan berdampak yang membuka jalan bagi perempuan desa untuk tumbuh.
Program seperti Celengan Amartha membuka ruang bagi siapapun untuk ikut berkontribusi. Bukan hanya menabung untuk masa depan sendiri, tapi juga menanam harapan untuk perempuan-perempuan tangguh di desa.
Yuk, dukung UMKM lokal dan jadi bagian dari perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI