Hari ini merupakan hari Ahad di bulan Mei. Aku telah menjadi seorang mahasiswa. Dibanding kisah mahasiswa baru pada tahun-tahun sebelumnya, kisah yang aku jalani sebagai mahasiswa baru sangat berbeda.Â
Aku bersama dengan angkatang 2020 belum diberikan kesempatan untuk saling berkumpul dan berdiskusi secara langsung.Â
Semua itu disebabkan oleh pandemi yang sampai saat ini masih belum jelas bagaimana cara menyelesaikannya. Aku tidak mau membahas itu, biarlah dr. Tirta sebagai garda terdepan yang bertanggung jawab untuk menjelaskan itu semua. Dia ahlinya.
Seperti biasanya, aku ingin bercerita kepada kalian semua. Kali ini aku ingin bercerita tentang kisah perjalananku selama satu tahun menjadi mahasiswa daring.Â
Kita sama-sama tahu bahwa pembelajaran online ini sungguh sangat membosankan. Kita dipaksa untuk duduk di atas kursi yang sama selama sekitar 8 - 12 jam setiap harinya.Â
Kita secara terpaksa harus mendengarkan pembelajaran dari dosen melalui gawai yang kita miliki. Hal ini tentu sangat memuakkan. Kita dipaksa untuk memahami apa yang dosen sampaikan, sedangkan kita berada dalam kesendirian.Â
Hal ini, untuk sebagian orang memang terasa sulit. Berusaha untuk mencerna perkataan yang dilontarkan oleh dosen tanpa ditemani oleh teman-teman kelas secara langsung itu memang menakutkan.Â
Kita tidak diberikan kesempatan untuk saling berbisik memberi jawaban, jauh daripada itu, kita tidak diberikan kesempatan untuk merasa nyaman berada di sekeliling teman-teman.Â
Namun mau bagaimana lagi?
Meskipun kita terseret-seret dalam upaya memahami pembelajaran selama kuliah daring, kita tetap harus menempuhnya sekuat tenaga agar kita mendapatkan manfaatnya sebaik mungkin. Mau bagaimana lagi? Jika kita memaksakan diri untuk menyelenggarakan perkuliahan secara luring, apa jaminannya? Jika kita bersikap kekanak-kanakan, memaksakan penyelenggaraan kuliah secara luring, ada berapa nyawa yang terancam gara-gara tindakan tersebut?Â
Cukup untuk pembukaannya.