Mohon tunggu...
Muhammad FavianZufar
Muhammad FavianZufar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berani memulai

Yang penting yakin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perdebatan Seksis dalam Media yang Bias Gender

9 April 2021   12:06 Diperbarui: 9 April 2021   12:42 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam sebuah negara berkembang yang budayanya masih melanggengkan inferioritas perempuan sudah terlalu banyak toleransi yang kita berikan pada orang yang gemar  melontarkan pernyataan seksis. Sebutlah contohnya, "Kamu kan perempuan, jangan sekolah  tinggi-tinggi." Atau, ada juga pernyataan, "Laki-laki kok nangis." Pernyataan seksis berlaku  untuk perempuan atau laki-laki. Tujuannya untuk mempertegas adanya segregasi yang  dikonstruksikan secara sosial. Dengan iklim patriarki di Indonesia, sudah jelas yang banyak  dirugikan adalah perempuan. 

Dalam perkembangannya, tidak semua media arus utama dan alternatif punya perspektif gender. kesetaraan gender merupakan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang diatur  oleh manusia (masyarakat) itu sendiri yang bersifat dinamis, dan sangat mungkin berbeda dari  satu masyarakat ke masyarakat lain.Dalam realita kehidupan, hampir semua tugas gender  dapat dilakukan oleh kedua kaum laki-laki dan perempuan (kecuali yang bersifat mutlak,  melahirkan misalnya). Namun dalam stereotip masyarakat (terutama Indonesia), masih sering terjadi kesalahan pemaknaan terhadap perbedaan gender sebagai kodrat fisiologis dan biologis.  

Sehingga muncul isu bias gender yang dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan perlakuan terhadap kaum perempuan. Implikasi bias gender secara tidak langsung dapat merugikan  masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka akan sulit bagi  perempuan untuk menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan keduanya akan menjadi  timpang. Ketimpangan yang dapat berakibat negatif, selanjutnya dapat dihindari dengan  mengisi kehidupan yang "harmoni dalam berbeda".

Sedangkan pengertian dari bias gender sendiri ialah Bias merupakan kondisi yang memihaka atau merugikan. Sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada laki- laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Hal tersebut memicu adanya bias gender atau suatu kondisi yang memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin.

Meski edukasi mengenai kesetaraan gender dengan mudahnya kita dapat lewat media alternatif (social media atau media lokal), tetap saja guyonan seksis ini masih lestari secara laten. Penulis memilih judul tersebut karna menarik untuk dibahas dan ramai pembahasannya, serta banyak pertanyaan sehingga memunculkan komunikasi publik . Perdebatan seksis ini memang menguras energi, untuk berdebat atau sekadar menanggapi guyonan seksis yang bias gender.

Akan tetapi, jelas tidak semua orang-orang berpikir seperti itu ada yang punya waktu yang sangat luang, hingga bisa menulis sudut pandangnya dengan lebih leluasa. Apalagi, baik media arus utama atau alternatif kini menyediakan wadah khusus untuk pembacanya. Hal itu biasanya diwujudkan dalam user generated content (UGC), jadi kontennya diisi oleh pembaca sendiri. Namun, dalam proses filternya tetap dilakukan oleh media yang bersangkutan. Nah, dalam kasus pemberitaan tentang perdebatan seksis yang bias gender.

Media yang mempunyai platform UGC adalah penentu. Apakah media itu akan tetap memfilter konten karya user sesuai dengan kode etik dan ciri khas medianya sendiri, atau tetap meloloskan naskah-naskah dengan gaya seksis yang mengundang perdebatan nirfaedah? Bila lebih condong pada pilihan kedua, apa yang dilakukan media tersebut tidak ada bedanya dengan pemberitaan dengan objektifikasi terhadap gender tertentu. Dengan kata lain, apa yang dilakukan media sama saja dengan medioker atau under average yang memuat berita berjudul "Perempuan Cantik Ini Menjabat sebagai Direktur" atau "Korban Pemerkosaan ini Ternyata Berwajah Rupawan".

Media-media seperti ini tidak pantas dijadikan rujukan suatu nilai yang seharusnya merepresentasikan kondisi masyarakat. Di zaman media alternatif yang terus berkembang, kredibilitas memang bukan hanya milik media arus utama. Kredibilitas sudah menjadi bebas nilai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun