Pada Maret 2022, dalam sidang United Nations Environment Assembly (UNEA - 5.2 ), Sebanyak 175 negara sepakat untuk merancang sebuah instrumen hukum internasional yang mengikat guna mengatasi maslaah polusi plastik di seluruh siklus hidupnya mulai dari desain, produksi, Penggunaan, hingga pembuangan. Negosiasi ini dilakukan oleh Intergovermental Negotiating Committe (INC) dengan beberapa putaran pertemuan diantaranya , INC-1 di Uruguay (Des 2022), INC-2 di Prancis (Mei--Juni 2023),INC-3 di Kenya (Nov 2023), INC-4 di Kanada (Apr 2024), INC-5.1 di Korea Selatan (Nov--Des 2024), dan yang terakhir dilakukan yaitu INC-5.2 di Jenewa, Swiss (5--14 Agustus 2025).
Plastic Treaty atau perjanjian global tentang plastik muncul karena dunia menghadapi krisi polusi plastik yang semakin parah dan meluas. Produksi plastik terus meningkat dari sekitar 2 juta ton pada tahun 1950-an kini menjadi lebih dari 400 juta ton per tahun sa ini. Menyebkan dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan, kematian hewan, masalah mikroplastik yang mengancam kesehatan makhluk hidup.
Mengapa perjanjian plastic global ini dianggap gagal? ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa perjanjian ini dianggap gagal. yang pertama yaitu Tidak adanyan kesepakatan akhir. NC - 5.2 gagal mencapai konsensus. Mereka menunda sidang ple no hingga 16 jam dan ketua dari INC menyatakan bahwa "pekerjaan akan berlanjut" sehingga tidak ada keputusan resmi dengan konsensus penuh. Yang kedua yaitu Perbedaan posisi antar negara. Banyak negara produsen plastik atau petrokimia lebih memilih agar regulasi dilonggarkan dan tidak membatasi produksi plastik sementara disisi lain tidak sedikit juga negara yang menginginkan pembatasan produksi plastil primer. Dominasi lobi industri juga menyebabkan perjanjian ini tidak mencapai keputusan akhir. Terdapat kurang lebih 234 pelobi delegasi dari perusahaan petrokimia dan produsen plastik. Mereka hadir dengan jumlah yang signifikan bahkan lebih banyak dari jumlah masyarakat sipil dan beberapa negara berkembang. Mereka aktif dalam mengintervensi dan menawarkan beberapa draft alternatif.Â
Pelemahan bahasa hukum dalam draft. Beberapa kata dalam pasal menggunakan kata "Should""as appropriate", atau "taking into account national capacities". Penggunaan kata kata seperti itu membuat hukum menjadi tidak mengikat sehingga terlihat lemah tanpa konsekuensi yang akan diberikan. Jika Plastic Treaty gagal, maka produksi plastik global akan terus meningkat dan polusi lintas batas semakin sulit dikendalikan. Dampak nyata yang akan kita hadapi mencakup kerusakan ekosistem laut dan darat, meningkatnya mikroplastik dalam rantai makanan serta ancaman serius bagi kesehatan manusia. Negara berkembang akan menanggung beban lebih besar akibat impor sampah plastik tanpa dukungan pendanaan, sementara kerugian ekonomi global di sektor perikanan, pariwisata, dan kesehatan semakin membengkak. Gagalnya perjanjian ini juga mencerminkan kegagalan politik internasional dalam menghadapi krisis lingkungan bersama.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI