Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Freelancer - Sosialistik

Pemuda penggerak

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apakah #ReformasidiKorupsi Menuju Post-Otoriterianisme?

7 Oktober 2019   21:49 Diperbarui: 8 Oktober 2019   05:26 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi aksi masa (sumber: Kompas/Didie SW)

Membara, politik negeri ini sedang membakar - bakar sikapnya yang menjadikan dinamika negara ini membara. Melanjutkan tulisan sebelumnya, tentang panasnya tensi politik yang ada. Dalam tulisan ini akan meruncingkan kepada : ada dimana nyali penguasa saat ini?

Menanggapi polemik ulah DPR sebelumnya, terkhusus pada di tok-nya RUU KPK yang membuat suasana elit memanas. Seruan interupsi dari jalanan dan pihak yang mengutuk RUU KPK tetap mengiringi disahnya RUU tersebut. 

Tidak berhenti begitu saja, Tidak berhasil membantalakan pengesahan RUU tersebut, suara rakyat mengerucut pada rekomendasi kepada presiden untuk segera mengeluarkan PERPU agar RUU KPK yang di anggap bermasalah ini bisa di hadang pengaruhnya.

Pertanyaannya, Mau kah Bapak Presiden mengamini apa yang di inginkan rakyat?

Begitu lah mungkin mengapa harus ada Judul dalam tulisan ini #reformasidikorupsi dan post-otoritarianisme.

Penulis ingin mengurai sebisa apa yang penulis tangkap dari apa yang sedang terjadi.

Pertama, mari melihat kembali pada kasus dimana pada waktu itu dianggap sebagai peristiwa pengalihan pemerintahan. Dari rezim yang dalam bahasanya Bung Fahri Hamzah di sebut dengan Otoriter, kepada masa yang di sebut dengan Reformasi. 

Ya, tahun 1998 tepatnya. Dimana rakyat memaksa pemerintahan pak harto untuk berhenti memerintah bangsa indonesia, yang banyak kalangan menyebut sebagai rezim orde baru atau rezim yang otoritarianisme. 

Banyak kisah heroik mahasiswa dan rakyat indonesia tercatat berhasil menurunkan presiden soeharto pada waktu itu, yang hasil kerja keras rakyat itu dinamakan sebagai perjuangan reformasi atau masa demokratisasi sistem ketatanegaraan bangsa ini. Mungkin juga masih disebut sampai masa yang hari ini dijalankan bersama.

Kedua, permasalahan UU KPK dan banyaknya polemik yang terjadi baru-baru ini. Seakan menunjukkan bahwa reformasi belum cukup dan masih banyak penyimpangan. 

Hingga tagar reformasi dikorupsi mencuat menjadi dasar pemikiran yang dijadikan masyarakat sebagai conter gagasan dari apa yang sedang pemerintah lakukan hari ini. 

Bahwa masih banyak kebijakan yang kurang pro kepada rakyat, seakan suara rakyat kurang di dengar dan otoriter dalam pengambilan kebijakan. Sehingga gagasan besar #reformasidikorupsi tidak bisa dihindari untuk datang mewarnai dinamika politik yang ada saat ini.

Menghubungkan kedua hal yang ada di atas, perlu rasanya kita untuk berfikir kembali. Mengapa reformasi belum cukup untuk menyelesaikan dasar-dasar permasalahan yang ada di negara ini. 

KKN masih subur, pelanggaran HAM tambah tidak terungkap dan terkesan bertambah, bahkan seakan otoritarianisme pemerintah hanya berganti dari baju orde baru kepada masa yang katanya demokrasi, yang intinya tetap saja otoriter. 

Bagaimana tidak, coba saja ingat-ingat kembali apa yang dulu dilakukan pada waktu perjuangan reformasi, apa saja yang di tuntutkan kepada pemerintah pada saat itu?

Bersihakan KKN dari negara? Lihat saja RUU KPK dan konfliknya sampai hari ini serta kasus korupsi yang sampai hari ini semakin menjadi-jadi.

Tegakkan supremasi Hukum? Harapan hadirnya hukum yang adil dan berpihak pada rakyat? Bagaimana dengan hari ini? Yang kemarin sempat dikerjakan DPR dengan cara kejar setoran saja tidak menggaransi keterimaan masyarakat, malah menjadikan rakyat semakin tidak percaya bahwa hukum yang di buat akan adil bagi rakyat itu sendiri.

Hapuskan Dwi fungsi ABRI? Malah banyak kritik sipil bahwa hari ini posisi strategis pemerintahan banyak diisi petinggi -- petinggi kepolisian.

Orde baru punya kasus HAM? Lihat saja setelah masa itu, juga masih tidak bersih masalah kriminalisasi kepada aktivis HAM, kasus HAM nya pun masih belum banyak yang teradili sampai sekarang.

Itu mungkin hanya sebagian saja dan memang tidak sampai sama persis seperti yang pernah dialami pada waktu orde baru.

Apabila di tinjau lebih jauh lagi. Jika Soeharto di turunkan karena keotoriterannya, coba lihat hari ini. Dalam kasus KPK. Presiden sudah diberi banyak pandangan oleh beberapa pihak bahwa dengan Perpu bisa menjadi bahan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat bahwa presiden sedang berpihak kepada rakyat. Dalam situasi ketidakpercayaan rakyat dari hasil UU KPK yang di sahkan DPR. Tapi apa yang sedang terjadi?

Tekanan politik yang nampaknya ditampilkan, bahkan sentimen "impeachment" sempat muncul dari salah satu ketua parpol. Presiden terkesan mendapat tekanan dari lingkaran parpol pendukungnya sendiri atas rambu-rambu Perpu yang di pertimbangkan untuk dikeluarkan.

Sikap presiden akan menetukan posisi personalnya sebagai orang nomor satu di negara ini. Mendengarkan rakyat atau patuh pada partai politik yang "katanya" berjasa besar mempertahankan kedudukannya sebagai presiden. 

Yasudahlah, semua tinggal menunggu apa yang akan di ambil oleh bapak presiden terkait hal tersebut.

Tetapi, kasus ini seharusnya bisa menjadi perenungan bersama. Bahwa bangsa ini sedang ada dalam otoritarianisme gaya baru. Jika dulu Pak Harto dianggap otoriter, mungkin beliau terkesan otoriter sendirian. Tapi melihat kasus dewasa ini, sepertinya ada yang otoriter tapi dengan berjamaah. 

Keduanya sama, sama-sama bersinggungan dalam hal keinginan. Antara keinginan pribadi dan kelompoknya dengan keinginan rakyat.

Memang tidak bisa di sebut sama persis antara otoritarianisme orde baru dengan yang saat ini dirasakan. Maka dari itu mengapa penulis sebut akankah masuk kepada keadaan yang sama dengan cara yang berbeda.

Jika hal yang terjadi pernah terlapau dirasakan sebelumnya dan hari ini lahir kembali dengan rasa yang manyesuaikan kondisinya serta gaya yang lebih elegan atau lebih "modernis". 

Dengan maksudnya sama saja. Yaitu otoritarianisme. Apa boleh dikata selain Post-otoritarianisme.

Presiden boleh saja tidak bisa disebut otoriter. Tapi jika orang yang di anggap berjasa terhadap hajat hidup presiden punya wewenang lebih untuk mengatur apa yang sedang presiden lakukan dan hasilnya memang kurang memberikan keadilan kepada rakyat, lebih-lebih suara rakyat tidak dihiraukan, ya tetap saja itu otoritarianisme.

#reformasidikorupsi adalah suara jernih dari rakyat, rambu-rambu yang mengingatkan jangan sampai bangsa ini terjerembab pada sejarah kelam yang pernah di lalui sebelumnya. 

Berterimakasihlah bahwa rakyat sedang menjalankan posisinya sebaik mungkin di era demokrasi sekarang ini. Ketika elit politik sudah rekonsiliasi sepenuhnya, maka rakyat memilih untuk beroposisi dengan negara. 

Tidak lain tujuannya untuk tegaknya demokrasi yang diidamkan. Menjaga bangsa tetap sehat, mulai dari penguasa dan kebijakannya. Semoga saja Pemangku Kebijakan negara ini bisa mengambil langkah yang unggul untuk memajukan rakyatnya. 

Rakyat sudah paham bahwa Bapak Presiden sudah tidak punya tanggungan apa-apa, dan seharusnya juga tidak gentar kepada siapa-siapa menjalankan pemerintahanya yang akan masuk pada periode kedua ini.  

Tapi jika dengan seperti ini saja dianggap perusuh, ya apa boleh di buat? Jika rasa aman saja tidak bisa di dapatkan rakyat dalam menjalani hidup mungkin benar kata cak Tedjo bubarkan saja negara ini.

Selamat menunggu kenegarawanan Bapak Presiden dan Selamat menyambut era baru Kabinet Jilid 2 yang Unggul dan Segera Maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun