Mohon tunggu...
Fernando Fauzan Firdaus
Fernando Fauzan Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyukai lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Demokrasi: Melihat Kedewasaan Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia

29 Mei 2023   12:17 Diperbarui: 29 Mei 2023   12:45 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penguatan sistem pemerintahan presidensial telah menjadi topik pembahasan di Indonesia sejak tahun 2004, ketika sistem presidensial diperkenalkan pasca reformasi. Salah satu aspek yang dibahas adalah penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen dan penguatan dukungan politik presiden untuk memperlancar penyelenggaraan pemerintahan. Pemilihan serentak (legislatif dan presiden) dipandang sebagai salah satu cara untuk memperkuat sistem presidensial. Pembahasan menggunakan pendekatan politik komparatif.

Menjelaskan beberapa hasil penelitian empiris yang paling penting mengenai hubungan antara sistem pemilu, pemilihan waktu dan sistem kepartaian dalam sistem presidensial multi partai di berbagai negara. Selanjutnya, beberapa dampak potensial di Indonesia dibahas secara singkat. Dalam artikel ini, saya berpendapat bahwa keputusan untuk menyelenggarakan pemilihan parlemen dan presiden secara serentak tidak cukup untuk memperkuat sistem presidensial multipartai di Indonesia.

Beberapa perubahan harus dilakukan terhadap sistem pemilu dan proses penetapan calon presiden, jika ingin memperkuat penerapan sistem presidensial baik dari sisi sistem dan proses pemilu maupun sistem kepartaian. Beberapa aspek lain yang mengatur hubungan antara presiden Indonesia dan parlemen justru dapat memperkuat pelaksanaan sistem pemerintahan ini. Masalah yang melekat sering terlihat dalam sistem pemerintahan presidensial. Linz (1990; 1994) menyebut fenomena ini sebagai "bahaya presidensialisme".

Ciri utama sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif (kekuasaan eksekutif tidak bergantung pada kekuasaan legislatif) dan presiden (kepala kekuasaan eksekutif) dan anggota kekuasaan legislatif dipilih langsung oleh orang-orang . 

Ada tiga masalah bawaan. Pertama, legitimasi ganda. Karena sama- sama dipilih oleh rakyat, baik presiden maupun parlemen memiliki legitimasi yang sama kuatnya. Misalnya, anggota parlemen tidak bisa mengklaim lebih mewakili rakyat daripada presiden. Jika ada konflik antara kedua institusi ini, peristiwa tersebut mungkin akan terhenti. Kedua, kekakuan. Baik parlemen maupun presiden memiliki masa jabatan tetap. Presiden tidak bisa digulingkan di tengah jalan, kecuali karena alasan seperti kejahatan atau pengkhianatan terhadap Konstitusi. Jadi, misalnya, jika presiden tidak senang, satu-satunya pilihan adalah menunggu hingga akhir masa kepresidenan. Ketiga, kecenderungan mayoritas.

Jika presiden cenderung mengabaikan parlemen (presiden kekaisaran), atau jika presiden merasa bahwa dia menghadapi parlemen yang bermusuhan (parlemen yang dikontrol oposisi atau pemerintahan yang terbagi), dia mungkin atau akan mencari celah konstitusional dan politik untuk memperluas kekuasaannya. kekuatan. 

Hal ini dapat menyebabkan parlemen yang lebih lemah dan rezim politik menjadi otoriter. Salah satu alasan ini membuat para ahli seperti Linz percaya bahwa sistem presidensial lebih rentan terhadap kehancuran demokrasi. statis). Masalah sistem presidensial diperparah ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai (Mainwaring, 1993; Shugart dan Carey, 1992; Stepan dan Skach, 1994). Dalam sistem presidensial multi partai, presiden terpilih tidak mungkin mendapat dukungan mayoritas di parlemen.

Banyaknya partai politik yang bersaing dalam pemilu (termasuk partai presiden) membuat satu partai sulit memenangkan pemilu dengan suara terbanyak. Hal itu berujung pada dukungan presiden sebagai minoritas di parlemen, meski partainya adalah partai yang memenangkan pemilu. Dalam sistem multipartai, dukungan mayoritas terhadap parlemen biasanya diperoleh melalui koalisi. Namun, karena presiden independen dari parlemen, insentif untuk membentuk koalisi tidak sebesar dalam sistem parlementer.

Pelaksanaan pemilu serentak atau universal suffrage belum tentu berdampak positif bagi penguatan sistem presidensial multipartai. Ada banyak variabel yang harus digabungkan. Kombinasi sistem pemilu seperti pluralitas dan MRO dapat memberikan efek yang berbeda jika digabungkan dengan pemilu eksekutif dan legislatif secara serentak. Kesimpulan umum dari berbagai kajian, khususnya tentang sistem presidensial multipartai di Amerika Latin, menunjukkan bahwa kombinasi sistem pemilihan presidensial dengan formula pluralitas dan pemilihan parlemen serentak cenderung menyederhanakan sistem kepartaian. 

Tapi itu masih tergantung pada hal-hal seperti berapa banyak calon presiden yang mencalonkan diri. Ketika calon presiden banyak, pengaruh pluralitas pada sistem partai legislatif cenderung menghilang. Dalam konteks Indonesia, kemungkinan akan sulit untuk mengubah sistem MRO menjadi banyak. Pertama, partai mengancam sistem pluralitas karena pengaruhnya yang dapat mengeluarkan partai dari parlemen.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun