Sekolah ramah perlu dievaluasi bukan hanya dari sisi akademik, tetapi dari iklim sosial dan psikologisnya.
Indikatornya dapat mencakup rasa aman siswa, tingkat partisipasi, praktik mediasi konflik, hingga kesejahteraan mental warga sekolah.
Laporan tahunan sekolah sebaiknya memuat Indeks Ketahanan Sosial Sekolah --- sebuah instrumen sederhana untuk mengukur seberapa besar rasa saling percaya, solidaritas, dan empati tumbuh di lingkungan pendidikan.
4. Penguatan Infrastruktur yang Aman dan Inklusif
Bangunan sekolah yang ramah anak bukan soal estetika, tapi soal aksesibilitas dan keselamatan.
Ruang terbuka hijau, fasilitas sanitasi layak, jalur bagi anak berkebutuhan khusus, serta ruang konseling yang nyaman adalah bentuk konkret ketahanan sosial --- karena ia memastikan setiap warga sekolah memiliki hak yang sama untuk berkembang tanpa rasa takut.
Kebijakan anggaran pendidikan daerah perlu menempatkan hal ini sebagai prioritas, bukan pelengkap.
5. Sinergi antara Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat
Sekolah ramah tidak bisa berdiri sendiri.
Ia memerlukan dukungan keluarga yang komunikatif dan masyarakat yang peduli.
Program Parent Involvement --- seperti forum dialog orang tua, gotong royong sekolah, atau "Hari Terbuka Ramah Anak" --- dapat memperkuat rantai komunikasi sosial yang sehat.
Dengan cara ini, pendidikan menjadi ekosistem kebersamaan, bukan sistem yang saling menyalahkan.
Dalam perspektif Ketahanan Nasional, langkah-langkah ini bukan hanya reformasi pendidikan, tetapi juga investasi strategis untuk masa depan bangsa.
Anak-anak yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang ramah, adil, dan menumbuhkan empati akan menjadi warga negara yang mampu menjaga perdamaian tanpa diperintah, dan membela bangsanya tanpa diminta.
Karena pada akhirnya, ketahanan sejati bukan terletak pada kekuatan fisik atau ekonomi, melainkan pada jiwa manusia yang merasa aman untuk berbuat baik.
Penutup: Dari Ruang Kelas Menuju Ketahanan Bangsa
Setiap bangsa besar selalu dimulai dari ruang kecil yang memanusiakan manusia.
Bagi Indonesia, ruang kecil itu bernama sekolah. Di sanalah anak-anak belajar bukan hanya membaca huruf, tapi juga membaca hati; bukan hanya menghitung angka, tapi juga menghitung makna. Ketika sekolah menjadi tempat yang aman dan menggembirakan, maka sejatinya negara sedang membangun ketahanan jiwanya sendiri --- dengan cara yang paling sunyi, namun paling abadi.
Sekolah ramah bukanlah proyek singkat, melainkan perjalanan panjang menuju kematangan bangsa.
Ia mengajarkan kita bahwa kekuatan tidak selalu lahir dari ketegasan, tetapi dari kasih yang menumbuhkan keberanian. Bangsa yang ingin kuat di masa depan harus mulai menanam benih ketahanan itu sekarang --- di setiap ruang kelas, di setiap hati anak yang merasa diterima.
Mungkin kita tidak bisa menjaga perbatasan negara dengan senjata,
tetapi kita bisa menjaga perbatasan moral bangsa dengan menciptakan sekolah yang ramah, adil, dan memuliakan manusia.
Karena bangsa yang anak-anaknya merasa aman di sekolah, tidak akan pernah takut menghadapi dunia.
"Ketahanan bangsa tidak hanya dibangun oleh mereka yang berdiri di garis depan, tetapi juga oleh para guru yang setiap hari menjaga agar tidak ada satu pun anak Indonesia merasa sendirian."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI