Ketahanan bangsa tidak selalu dibangun di markas militer. Kadang ia tumbuh diam-diam di ruang kelas sederhana, di antara suara tawa anak-anak yang merasa aman menjadi diri sendiri. Di sanalah benteng pertama bangsa ini berdiri --- bukan dari baja, tapi dari kepercayaan, empati, dan rasa nyaman.
Namun kenyataannya, tidak semua ruang belajar di negeri ini menghadirkan rasa aman itu. Dalam laporan KPAI, sepanjang 2023 tercatat sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia, dan hampir separuh terjadi di lembaga pendidikan. Dari total aduan perlindungan anak tahun 2024, 35 % dari 114 kasus kekerasan berada di lingkungan sekolah. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat tumbuh, belajar, dan pengembangan karakter, justru kadang menjadi arena kekerasan, intimidasi, dan tekanan psikologis.
Sekolah yang ramah bukan hanya soal fasilitas bersih dan taman hijau. Ia adalah ruang kehidupan yang memuliakan manusia sejak kecil --- tempat anak belajar menghargai perbedaan, menyampaikan aspirasi tanpa takut, dan menumbuhkan tanggung jawab dengan kelembutan. Dari sinilah fondasi ketahanan manusia dibangun: anak yang sehat secara mental, tangguh dalam menghadapi tekanan, dan berintegritas dalam tindakan.
Dalam perspektif Ketahanan Nasional, sekolah ramah bukan sekadar program pendidikan --- ia adalah strategi nonmiliter strategis untuk memperkuat resiliensi sosial sejak dini. Sekolah ramah membantu menanamkan nilai kebangsaan, memperkuat ikatan sosial, dan menjaga keamanan psikologis anak-anak. Karena pada akhirnya, bangsa yang anak-anaknya merasa aman di sekolah, tak akan mudah diguncang oleh ancaman dalam maupun luar dirinya.
Konsep Sekolah Ramah: Lebih dari Sekadar Nyaman
Ketika kita mendengar istilah sekolah ramah, yang terlintas sering kali adalah tempat belajar yang bersih, tertib, dan menyenangkan. Padahal, makna sekolah ramah jauh lebih luas dari itu. Ia bukan sekadar ruang nyaman, tetapi ruang hidup yang menghormati martabat setiap anak sebagai manusia utuh --- dengan hak, kebutuhan, dan keberagaman yang melekat pada dirinya.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan bahwa sekolah yang ideal harus memenuhi empat prinsip utama: aman, nyaman, inklusif, dan menyenangkan. Aman berarti bebas dari kekerasan fisik maupun psikis. Nyaman meliputi suasana belajar yang sehat, bersih, dan berdaya dukung terhadap tumbuh kembang anak. Inklusif berarti semua anak --- tanpa memandang gender, kemampuan, agama, atau latar sosial --- diterima dengan penghormatan yang sama. Sedangkan menyenangkan berarti proses belajar mendorong rasa ingin tahu, bukan rasa takut.
Lebih dari sekadar konsep, sekolah ramah adalah ekosistem pendidikan yang memuliakan kemanusiaan. Di sana, guru tidak hanya mengajar pelajaran, tapi juga menanamkan kepekaan moral; kepala sekolah tidak sekadar mengatur disiplin, tapi juga merawat rasa aman; dan teman sebaya belajar menjadi sahabat, bukan pesaing. Dari interaksi sehari-hari inilah terbentuk resiliensi sosial --- ketangguhan manusia untuk menghadapi konflik tanpa kekerasan, perbedaan tanpa kebencian, dan tantangan tanpa kehilangan empati.
Program nasional MPLS Ramah 2025 yang digagas Kemendikdasmen menjadi salah satu tonggak penting dalam memperkuat arah ini. Pemerintah menegaskan bahwa masa pengenalan sekolah harus bebas dari perpeloncoan, pungutan, dan tekanan mental, serta menumbuhkan prinsip edukatif, partisipatif, inklusif, dan menggembirakan. Langkah ini menandai pergeseran paradigma pendidikan Indonesia --- dari pendekatan disipliner menuju pendekatan humanistik dan berbasis nilai ketahanan sosial.
Sekolah yang ramah sejatinya adalah miniatur masyarakat ideal: tempat di mana anak belajar demokrasi tanpa perlu kuliah politik, belajar keadilan tanpa harus masuk pengadilan, dan belajar kasih tanpa perlu ceramah panjang. Di sana, nilai-nilai kebangsaan tidak diajarkan lewat slogan, tetapi dihidupkan dalam perilaku sehari-hari. Sebuah miniatur kecil, namun jika dirawat dengan benar, bisa menjadi fondasi besar bagi ketahanan bangsa.
Sekolah Ramah dalam Perspektif Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional bukan hanya soal menjaga wilayah, sumber daya, atau kekuatan militer. Ia adalah soal menjaga manusia, sebab dari manusialah ketahanan sebuah bangsa bertumpu. Di titik inilah, sekolah memiliki peran yang amat strategis: menjadi ruang paling awal di mana ketahanan manusia dibentuk secara alami melalui pendidikan, interaksi, dan nilai-nilai yang dijalankan setiap hari.