Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Amarah Tak lagi Jadi Musuh: Mengubah Api Menjadi Cahaya Kesadaran

4 Oktober 2025   22:12 Diperbarui: 5 Oktober 2025   05:29 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Alexa from Pixabay 

Dunia hari ini tampak lebih mudah terbakar daripada menerangi.
Satu cuitan di media sosial bisa memicu ribuan komentar penuh amarah.
Satu video berdurasi tiga puluh detik bisa menyalakan bara kebencian yang meluas ke ruang publik dan politik. Seakan-akan kita hidup dalam zaman yang gampang tersinggung, tapi sulit tersentuh.

Dalam seminggu terakhir saja, kita melihat bagaimana amarah kolektif meledak di berbagai lini: dari protes jalanan yang berujung bentrok, komentar warganet yang saling mencaci, sampai perdebatan tentang isu politik atau agama yang tak berujung damai. Semua seolah berlomba menjadi paling benar, padahal yang terbakar sering justru batin manusia itu sendiri.

Padahal, kalau kita lihat lebih dalam, amarah bukanlah hal baru. Ia adalah api purba yang sudah menyala sejak manusia pertama merasa tersakiti atau diabaikan. Yang berubah hanyalah wadahnya --- jika dulu amarah keluar lewat perang atau pedang, kini ia menyala melalui jempol dan layar ponsel. Platform digital membuat emosi manusia lebih cepat viral daripada virus itu sendiri.

Namun, menariknya, sebagian dari amarah itu tidak selalu lahir dari kebencian. Banyak di antaranya justru muncul dari rasa cinta yang belum menemukan bentuknya --- cinta pada keadilan, pada nilai yang diyakini benar, pada bangsa, bahkan pada Tuhan. Di titik ini, amarah bukan sekadar ledakan emosi, tapi jeritan nurani yang mencari arah.

Masalahnya, ketika amarah tidak dikelola, ia menjelma menjadi api yang membakar kesadaran.
Ia menutup ruang dialog, mematikan empati, dan melahirkan generasi yang lebih reaktif daripada reflektif. Dari rumah tangga hingga ruang politik, dari pertemanan hingga wacana publik --- amarah tanpa kesadaran membuat manusia kehilangan kemampuan untuk melihat dari hati.

Maka, pertanyaannya bukan lagi "apakah marah itu salah?", melainkan "bagaimana kita menyadari, mengarahkan, dan mentransformasikan amarah itu sendiri?"

Karena sesungguhnya, sebagaimana para sufi berkata:

"Api yang sama bisa membakar, tapi juga bisa menghangatkan."

Tergantung siapa yang memegangnya --- nafsu, atau kesadaran.

Ketika Api Itu Menyala di Dalam Diri

Dunia hari ini tampak lebih cepat panas daripada sadar. Satu komentar di media sosial bisa berubah menjadi perang kata. Satu video berdurasi tiga puluh detik dapat menyalakan bara kebencian yang menjalar ke mana-mana. Kita hidup di zaman di mana kemarahan menjadi bahasa sehari-hari---dari ruang publik hingga ruang hati.

Namun menariknya, tidak semua amarah lahir dari kebencian. Sebagian justru datang dari rasa cinta yang belum menemukan jalannya---cinta pada kebenaran, pada keadilan, pada bangsa, atau bahkan pada Tuhan. Tetapi ketika cinta kehilangan arah, ia berubah menjadi api. Dan bila api itu tak dijaga, ia bisa membakar kesadaran.

Para sufi menyebut amarah sebagai ghadab, bagian dari nafs al-hayawaniyyah, lapisan jiwa yang menyimpan tenaga bertahan dan menegakkan kehendak. Al-Ghazali menggambarkannya seperti anjing penjaga rumah hati: jika jinak, ia menjaga; jika liar, ia menggigit tuannya. Amarah yang jinak menjaga kehormatan dan martabat, sementara amarah yang liar menutup pintu zikir dan memadamkan cahaya batin.

Ibn 'Arabi menulis bahwa, "Marah adalah api Ilahi yang ditempatkan dalam diri manusia. Bila ia menyala dengan hikmah, ia menjadi cahaya; bila ia menyala dengan ego, ia menjadi neraka." Kalimat itu seperti cermin: kita tak perlu memadamkan api, kita hanya perlu mengarahkan nyalanya agar menghangatkan, bukan membakar. Dalam tasawuf, inilah jalan tazkiyah an-nafs---penyucian jiwa, di mana energi marah disucikan menjadi daya keberanian (syaja'ah).

Amarah yang jernih melahirkan keberanian menegakkan kebenaran. Amarah yang keruh melahirkan kebencian yang membutakan pandangan. Karena itu, para arif billah tidak pernah mengajarkan untuk meniadakan amarah, tetapi mengajarkan untuk menyadarinya, menuntunnya, dan menyalurkannya dengan kasih.

Pandangan tasawuf ini sejalan dengan hikmah filsafat klasik. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menulis bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem: penakut di satu sisi dan pemarah buta di sisi lain. "Siapa yang tidak pernah marah sama sekali bukanlah manusia yang baik, melainkan manusia yang tak memiliki semangat," tulisnya. Bagi Aristoteles, amarah memiliki tempat moralnya sendiri---selama muncul pada waktu yang tepat, pada alasan yang benar, dan dengan kadar yang seimbang.

Nietzsche bahkan melihat amarah sebagai tanda dari kehendak hidup yang tersumbat. Baginya, manusia modern terlalu sering menekan amarah demi sopan santun sosial, hingga kehilangan vitalitas untuk memperjuangkan kebenaran. "Di balik setiap kemarahan sejati," tulis Nietzsche, "ada kekuatan untuk melampaui diri." Ketika amarah diarahkan dengan kesadaran, ia bukan lagi bentuk kelemahan, melainkan tanda kehidupan yang paling jujur.

Pada titik ini, filsafat dan tasawuf berjumpa. Keduanya melihat amarah bukan sebagai dosa, melainkan tenaga eksistensial---bahan bakar yang, bila diarahkan dengan kesadaran, bisa mengantar manusia naik satu tangga dalam perjalanan spiritualnya.

Masalahnya bukan pada amarah itu sendiri, tetapi pada siapa yang memegang kendalinya. Jika ego yang memegang, api itu akan membakar. Jika kesadaran yang memegang, api itu akan menerangi jalan menuju Tuhan. Maka tugas kita bukan memadamkan amarah, melainkan menyadarkannya, menghaluskannya, dan mengubahnya menjadi cahaya.

Karena sejatinya, manusia bukan hanya makhluk yang bisa mencintai, tetapi juga bisa marah demi cinta yang benar. Dan ketika api itu menyala dengan kesadaran, ia tak lagi menjadi bara yang membakar dunia---melainkan pelita yang menerangi perjalanan jiwa.

Ilmu Modern -- Sisi Gelap dan Terang Amarah

Jika para sufi berbicara tentang amarah sebagai api dalam dada, maka ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai ledakan kimiawi di otak dan tubuh manusia. Saat seseorang marah, bagian otak yang disebut amygdala bereaksi secepat kilat, mengaktifkan sistem fight or flight yang membuat jantung berdegup lebih cepat, napas memburu, dan tubuh bersiap untuk melawan. Tubuh membanjiri diri dengan hormon stres: adrenalin dan kortisol.

Namun, yang menarik, penelitian menunjukkan bahwa amarah tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi energi yang memacu fokus dan keberanian, asalkan diarahkan dengan kesadaran.

Sebuah studi yang dilakukan National Institutes of Health (NIH) pada 2024 menemukan bahwa hanya delapan menit ledakan amarah dapat membuat pembuluh darah seseorang menyempit dan kehilangan kemampuan mengalirkan darah dengan normal. Artinya, satu amukan singkat saja sudah cukup menurunkan fungsi jantung dan meningkatkan risiko stroke. Efek itu bahkan lebih besar dibandingkan rasa sedih atau cemas. Para ilmuwan menyimpulkan: kemarahan, jika terus dipelihara, bisa menjadi racun fisiologis yang nyata.

Studi lain yang dimuat di Harvard Medical Magazine menunjukkan bahwa kemarahan kronis dapat mempercepat proses penuaan sel, merusak sistem kekebalan tubuh, dan memicu peradangan kronis. Dalam bahasa sederhana: amarah yang disimpan terlalu lama membuat tubuh berkarat dari dalam.

Namun, ilmu modern juga menemukan sisi lain dari api ini. Menurut riset American Psychological Association (2023), individu yang marah secara terkendali justru lebih gigih mencapai tujuan. Amarah yang diarahkan dengan benar dapat memperkuat fokus, meningkatkan daya juang, dan menjadi bahan bakar bagi perubahan sosial. Dalam konteks psikologi motivasi, amarah bisa menjadi energi moral---dorongan untuk menegakkan nilai ketika sesuatu dirasa tidak adil.

Kita bisa melihat bukti nyata tentang bagaimana amarah kolektif dapat berubah menjadi kekuatan moral dalam gelombang protes global terhadap genosida di Palestina. Dalam beberapa bulan terakhir, jutaan orang di berbagai belahan dunia turun ke jalan mengecam tindakan Israel terhadap warga sipil Gaza. Dari London hingga Roma, dari Paris hingga Jakarta, massa berkumpul membawa spanduk “Stop the Genocide” dan menyerukan gencatan senjata permanen.

Di Italia, laporan Associated Press menyebut lebih dari dua juta warga melakukan aksi damai mendesak pemerintah mereka agar bersikap tegas terhadap blokade Gaza. Di Inggris, ribuan demonstran memenuhi Trafalgar Square memprotes keputusan pemerintah yang melabeli aktivis pro-Palestina sebagai ekstremis. Di markas besar PBB, massa dari berbagai negara menyerukan penghentian total kekerasan dan pengakuan penuh atas hak rakyat Palestina. Bahkan di Indonesia, ribuan orang ikut turun ke jalan dalam solidaritas, menyuarakan kemarahan yang berakar dari cinta terhadap kemanusiaan.

Gelombang kemarahan ini menunjukkan bahwa amarah bisa menjadi bentuk kasih yang terluka, bukan sekadar kebencian. Ketika dunia menyaksikan penderitaan anak-anak Gaza, yang muncul bukan hanya rasa iba, melainkan getaran batin kolektif: bahwa nilai kemanusiaan sedang diinjak. Amarah moral seperti ini bukanlah api yang membakar dunia, tetapi api kesadaran global yang memanggil manusia untuk bangkit melawan ketidakadilan.

Sebaliknya, ketika amarah kehilangan arah, ia menjadi penyakit sosial. Dunia digital memberi contoh nyata: algoritma media sosial lebih menyukai konten yang menimbulkan kemarahan, karena emosi ini meningkatkan interaksi pengguna. Akibatnya, berita hoaks dan provokasi lebih cepat viral dibanding kebaikan dan kedamaian. Dalam satu studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT), disinformasi di Twitter menyebar enam kali lebih cepat ketika dibumbui dengan nada marah. Artinya, industri informasi global secara tidak sadar sedang memperdagangkan kemarahan manusia.

Maka, ilmu modern hanya menegaskan apa yang sudah lama diajarkan oleh para sufi: amarah adalah energi yang netral, yang menentukan adalah kesadarannya. Ia bisa menjadi racun yang menghancurkan tubuh dan masyarakat, atau menjadi tenaga penggerak menuju perubahan yang adil dan bermartabat.

Amarah adalah sinyal biologis bahwa ada batas yang dilanggar, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem nilai kita. Ia memanggil kita untuk memperhatikan, bukan untuk menghancurkan. Namun dalam dunia yang cepat bereaksi seperti sekarang, kita jarang berhenti di antara dua tarikan itu---antara menyadari dan meledak.

Para ilmuwan hati (HeartMath Institute) bahkan menemukan bahwa saat seseorang marah, medan elektromagnetik di sekitar jantungnya menjadi kacau dan tidak beraturan. Sebaliknya, ketika ia menenangkan diri dengan napas sadar atau zikir, pola energi jantung menjadi harmonis. Sains menyebutnya heart coherence; tasawuf menyebutnya ketenangan hati yang diliputi nur.

Maka, baik sains maupun spiritualitas mengarah pada satu kebenaran yang sama: amarah tidak perlu dihindari, tetapi perlu disadari. Karena hanya dengan kesadaran, api itu berubah dari kekacauan menjadi cahaya.

Jalan Transformasi -- Dari Reaksi ke Kesadaran

Amarah, pada dasarnya, adalah panggilan dari dalam diri yang meminta untuk didengar.
Ia tidak ingin ditindas, tapi juga tidak ingin dibiarkan berkuasa. Dalam tasawuf, cara memperlakukan amarah seperti ini disebut muraqabah an-nafs---mengawasi diri dengan lembut, bukan menghakimi.

Langkah pertama dalam menaklukkan amarah bukanlah menekannya, melainkan menyadarinya. Saat dada terasa panas, jantung berdegup, atau lidah mulai ingin berbicara tajam, berhentilah sejenak. Tarik napas dalam-dalam, dan katakan di dalam hati: "Ini hanya energi yang sedang naik. Aku melihatnya." Dalam kesadaran itu, kita berhenti menjadi amarah itu sendiri dan mulai menjadi saksi atasnya. Seperti awan yang lewat di langit, amarah pun bisa berlalu ketika disadari tanpa diikuti.

Langkah kedua adalah menyelami akar emosinya. Sebagian besar amarah lahir bukan karena hal kecil yang tampak di permukaan, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam---perasaan diabaikan, diperlakukan tidak adil, atau luka lama yang belum sembuh. Tanyakan pada diri sendiri: "Apa yang sebenarnya aku pertahankan? Nilai apa yang aku rasa terlanggar?" Sering kali, di balik amarah yang keras, tersimpan kerinduan untuk dipahami. Ketika akar itu ditemukan, api yang tadinya membakar bisa berubah menjadi cahaya pemahaman.

Langkah ketiga adalah mengubah frekuensi energi itu. Dalam praktik sufistik, ini dilakukan lewat zikir, diam sadar, atau napas yang tenang. Kalimat "La hawla wa la quwwata illa billah"---tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah---bukan hanya ungkapan pasrah, tapi juga kode energi yang menurunkan panas hati menjadi kesejukan ruh. Zikir mengingatkan bahwa bahkan kekuatan untuk marah pun bukan milik kita, melainkan milik-Nya. Ketika itu disadari, amarah kehilangan taringnya, karena ego tidak lagi memegang kendali.

Langkah keempat adalah menyublimasi amarah menjadi cinta. Jalaluddin Rumi berkata, "Marahmu adalah cinta yang kehilangan arah." Banyak orang marah karena mereka terlalu peduli. Maka jalan tertinggi bukan mematikan kepedulian itu, melainkan menyalurkannya dalam bentuk kasih dan tindakan nyata. Nabi menunjukkan hal ini dengan indah: beliau marah ketika kebenaran diinjak, tapi marahnya penuh kelembutan. Ia menegakkan kebenaran tanpa kehilangan kasih.

Dalam bahasa modern, inilah yang disebut emotional alchemy---mengubah energi destruktif menjadi kekuatan kreatif. Seseorang yang mampu mengelola amarahnya bukan berarti ia lemah, tapi justru sudah menguasai dirinya sendiri. Seperti seorang pandai besi yang mengendalikan api agar bisa menempanya menjadi pedang kebenaran.

Penutup -- Api yang Menjadi Cahaya

Amarah tidak harus menjadi musuh. Ia bisa menjadi guru. Ia menunjukkan kepada kita di mana hati masih gelap, di mana ego masih ingin berkuasa, dan di mana cinta butuh diarahkan kembali kepada sumbernya. Dunia tidak membutuhkan manusia tanpa amarah, tapi manusia yang amarahnya telah tercerahkan.

Ketika seseorang mampu marah dengan kesadaran, ia tidak lagi membalas luka dengan luka, tetapi dengan tindakan yang berakar dari cinta. Ia bisa tegas tanpa benci, keras tanpa kasar, kuat tanpa kehilangan kasih. Dalam diri orang seperti ini, amarah dan cinta tidak lagi bertentangan; keduanya menyatu menjadi daya hidup yang suci.

Di tengah dunia yang semakin reaktif, mungkin yang paling dibutuhkan bukanlah orang-orang yang cepat menenangkan diri, melainkan mereka yang mampu membawa ketenangan di tengah api. Karena sesungguhnya, yang membedakan api neraka dan api pelita bukanlah panasnya, tetapi tujuannya.

Dan ketika kita belajar menyalakan api itu untuk menerangi, bukan membakar, maka di sanalah kita menemukan inti dari perjalanan spiritual manusia:
bukan memadamkan apa yang ada di dalam diri,
melainkan menemukan cahaya di tengah nyalanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun