Sebuah studi yang dilakukan National Institutes of Health (NIH) pada 2024 menemukan bahwa hanya delapan menit ledakan amarah dapat membuat pembuluh darah seseorang menyempit dan kehilangan kemampuan mengalirkan darah dengan normal. Artinya, satu amukan singkat saja sudah cukup menurunkan fungsi jantung dan meningkatkan risiko stroke. Efek itu bahkan lebih besar dibandingkan rasa sedih atau cemas. Para ilmuwan menyimpulkan: kemarahan, jika terus dipelihara, bisa menjadi racun fisiologis yang nyata.
Studi lain yang dimuat di Harvard Medical Magazine menunjukkan bahwa kemarahan kronis dapat mempercepat proses penuaan sel, merusak sistem kekebalan tubuh, dan memicu peradangan kronis. Dalam bahasa sederhana: amarah yang disimpan terlalu lama membuat tubuh berkarat dari dalam.
Namun, ilmu modern juga menemukan sisi lain dari api ini. Menurut riset American Psychological Association (2023), individu yang marah secara terkendali justru lebih gigih mencapai tujuan. Amarah yang diarahkan dengan benar dapat memperkuat fokus, meningkatkan daya juang, dan menjadi bahan bakar bagi perubahan sosial. Dalam konteks psikologi motivasi, amarah bisa menjadi energi moral---dorongan untuk menegakkan nilai ketika sesuatu dirasa tidak adil.
Kita bisa melihat bukti nyata tentang bagaimana amarah kolektif dapat berubah menjadi kekuatan moral dalam gelombang protes global terhadap genosida di Palestina. Dalam beberapa bulan terakhir, jutaan orang di berbagai belahan dunia turun ke jalan mengecam tindakan Israel terhadap warga sipil Gaza. Dari London hingga Roma, dari Paris hingga Jakarta, massa berkumpul membawa spanduk “Stop the Genocide” dan menyerukan gencatan senjata permanen.
Di Italia, laporan Associated Press menyebut lebih dari dua juta warga melakukan aksi damai mendesak pemerintah mereka agar bersikap tegas terhadap blokade Gaza. Di Inggris, ribuan demonstran memenuhi Trafalgar Square memprotes keputusan pemerintah yang melabeli aktivis pro-Palestina sebagai ekstremis. Di markas besar PBB, massa dari berbagai negara menyerukan penghentian total kekerasan dan pengakuan penuh atas hak rakyat Palestina. Bahkan di Indonesia, ribuan orang ikut turun ke jalan dalam solidaritas, menyuarakan kemarahan yang berakar dari cinta terhadap kemanusiaan.
Gelombang kemarahan ini menunjukkan bahwa amarah bisa menjadi bentuk kasih yang terluka, bukan sekadar kebencian. Ketika dunia menyaksikan penderitaan anak-anak Gaza, yang muncul bukan hanya rasa iba, melainkan getaran batin kolektif: bahwa nilai kemanusiaan sedang diinjak. Amarah moral seperti ini bukanlah api yang membakar dunia, tetapi api kesadaran global yang memanggil manusia untuk bangkit melawan ketidakadilan.
Sebaliknya, ketika amarah kehilangan arah, ia menjadi penyakit sosial. Dunia digital memberi contoh nyata: algoritma media sosial lebih menyukai konten yang menimbulkan kemarahan, karena emosi ini meningkatkan interaksi pengguna. Akibatnya, berita hoaks dan provokasi lebih cepat viral dibanding kebaikan dan kedamaian. Dalam satu studi yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT), disinformasi di Twitter menyebar enam kali lebih cepat ketika dibumbui dengan nada marah. Artinya, industri informasi global secara tidak sadar sedang memperdagangkan kemarahan manusia.
Maka, ilmu modern hanya menegaskan apa yang sudah lama diajarkan oleh para sufi: amarah adalah energi yang netral, yang menentukan adalah kesadarannya. Ia bisa menjadi racun yang menghancurkan tubuh dan masyarakat, atau menjadi tenaga penggerak menuju perubahan yang adil dan bermartabat.
Amarah adalah sinyal biologis bahwa ada batas yang dilanggar, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem nilai kita. Ia memanggil kita untuk memperhatikan, bukan untuk menghancurkan. Namun dalam dunia yang cepat bereaksi seperti sekarang, kita jarang berhenti di antara dua tarikan itu---antara menyadari dan meledak.
Para ilmuwan hati (HeartMath Institute) bahkan menemukan bahwa saat seseorang marah, medan elektromagnetik di sekitar jantungnya menjadi kacau dan tidak beraturan. Sebaliknya, ketika ia menenangkan diri dengan napas sadar atau zikir, pola energi jantung menjadi harmonis. Sains menyebutnya heart coherence; tasawuf menyebutnya ketenangan hati yang diliputi nur.
Maka, baik sains maupun spiritualitas mengarah pada satu kebenaran yang sama: amarah tidak perlu dihindari, tetapi perlu disadari. Karena hanya dengan kesadaran, api itu berubah dari kekacauan menjadi cahaya.