Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Amarah Tak lagi Jadi Musuh: Mengubah Api Menjadi Cahaya Kesadaran

4 Oktober 2025   22:12 Diperbarui: 4 Oktober 2025   22:39 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun menariknya, tidak semua amarah lahir dari kebencian. Sebagian justru datang dari rasa cinta yang belum menemukan jalannya---cinta pada kebenaran, pada keadilan, pada bangsa, atau bahkan pada Tuhan. Tetapi ketika cinta kehilangan arah, ia berubah menjadi api. Dan bila api itu tak dijaga, ia bisa membakar kesadaran.

Para sufi menyebut amarah sebagai ghadab, bagian dari nafs al-hayawaniyyah, lapisan jiwa yang menyimpan tenaga bertahan dan menegakkan kehendak. Al-Ghazali menggambarkannya seperti anjing penjaga rumah hati: jika jinak, ia menjaga; jika liar, ia menggigit tuannya. Amarah yang jinak menjaga kehormatan dan martabat, sementara amarah yang liar menutup pintu zikir dan memadamkan cahaya batin.

Ibn 'Arabi menulis bahwa, "Marah adalah api Ilahi yang ditempatkan dalam diri manusia. Bila ia menyala dengan hikmah, ia menjadi cahaya; bila ia menyala dengan ego, ia menjadi neraka." Kalimat itu seperti cermin: kita tak perlu memadamkan api, kita hanya perlu mengarahkan nyalanya agar menghangatkan, bukan membakar. Dalam tasawuf, inilah jalan tazkiyah an-nafs---penyucian jiwa, di mana energi marah disucikan menjadi daya keberanian (syaja'ah).

Amarah yang jernih melahirkan keberanian menegakkan kebenaran. Amarah yang keruh melahirkan kebencian yang membutakan pandangan. Karena itu, para arif billah tidak pernah mengajarkan untuk meniadakan amarah, tetapi mengajarkan untuk menyadarinya, menuntunnya, dan menyalurkannya dengan kasih.

Pandangan tasawuf ini sejalan dengan hikmah filsafat klasik. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menulis bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem: penakut di satu sisi dan pemarah buta di sisi lain. "Siapa yang tidak pernah marah sama sekali bukanlah manusia yang baik, melainkan manusia yang tak memiliki semangat," tulisnya. Bagi Aristoteles, amarah memiliki tempat moralnya sendiri---selama muncul pada waktu yang tepat, pada alasan yang benar, dan dengan kadar yang seimbang.

Nietzsche bahkan melihat amarah sebagai tanda dari kehendak hidup yang tersumbat. Baginya, manusia modern terlalu sering menekan amarah demi sopan santun sosial, hingga kehilangan vitalitas untuk memperjuangkan kebenaran. "Di balik setiap kemarahan sejati," tulis Nietzsche, "ada kekuatan untuk melampaui diri." Ketika amarah diarahkan dengan kesadaran, ia bukan lagi bentuk kelemahan, melainkan tanda kehidupan yang paling jujur.

Pada titik ini, filsafat dan tasawuf berjumpa. Keduanya melihat amarah bukan sebagai dosa, melainkan tenaga eksistensial---bahan bakar yang, bila diarahkan dengan kesadaran, bisa mengantar manusia naik satu tangga dalam perjalanan spiritualnya.

Masalahnya bukan pada amarah itu sendiri, tetapi pada siapa yang memegang kendalinya. Jika ego yang memegang, api itu akan membakar. Jika kesadaran yang memegang, api itu akan menerangi jalan menuju Tuhan. Maka tugas kita bukan memadamkan amarah, melainkan menyadarkannya, menghaluskannya, dan mengubahnya menjadi cahaya.

Karena sejatinya, manusia bukan hanya makhluk yang bisa mencintai, tetapi juga bisa marah demi cinta yang benar. Dan ketika api itu menyala dengan kesadaran, ia tak lagi menjadi bara yang membakar dunia---melainkan pelita yang menerangi perjalanan jiwa.

Ilmu Modern -- Sisi Gelap dan Terang Amarah

Jika para sufi berbicara tentang amarah sebagai api dalam dada, maka ilmu pengetahuan modern menyebutnya sebagai ledakan kimiawi di otak dan tubuh manusia. Saat seseorang marah, bagian otak yang disebut amygdala bereaksi secepat kilat, mengaktifkan sistem fight or flight yang membuat jantung berdegup lebih cepat, napas memburu, dan tubuh bersiap untuk melawan. Tubuh membanjiri diri dengan hormon stres: adrenalin dan kortisol.

Namun, yang menarik, penelitian menunjukkan bahwa amarah tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi energi yang memacu fokus dan keberanian, asalkan diarahkan dengan kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun