Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia yang Tak Pernah Cukup: Fenomena Hedonic Treadmill dalam Hidup Modern

29 September 2025   19:57 Diperbarui: 29 September 2025   19:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by milyoung kim from Pixabay 

Pernahkah kita merasakan momen ini: gaji naik, hati berbunga-bunga. Baru seminggu berjalan, semangat itu perlahan memudar. Beberapa bulan kemudian, kita mulai mengeluh lagi---uang tetap saja terasa kurang, target baru muncul, dan kebahagiaan yang dulu dirayakan kini seolah biasa saja. Atau ketika berhasil membeli ponsel keluaran terbaru, ada rasa puas yang luar biasa. Namun, tak sampai setahun, iklan seri berikutnya muncul dan batin kembali gelisah.

Fenomena ini bukan sekadar perasaan individual, melainkan gejala universal yang dalam psikologi dikenal sebagai hedonic treadmill. Ibarat sedang berlari di atas treadmill, manusia bergerak terus, mencapai banyak hal, tetapi sesungguhnya tetap berada di titik yang sama dalam hal kebahagiaan. Setiap kali satu keinginan tercapai, standar kita naik lagi. Bahagia hanya mampir sebentar, lalu menguap, meninggalkan ruang kosong yang kembali harus diisi.

Ilmu modern menemukan bahwa pencapaian materi---kenaikan gaji, promosi jabatan, atau kepemilikan barang mewah---memberikan efek bahagia yang nyata, tetapi singkat. Begitu fase euforia itu berlalu, kita kembali pada "titik normal." Akibatnya, manusia tak henti-hentinya mengejar, berharap di puncak berikutnya akan ada kebahagiaan yang lebih kekal. Sayangnya, puncak itu ternyata ilusi: setinggi apa pun kita mendaki, perasaan cukup jarang sekali tercapai.

Pertanyaan penting pun muncul: apakah kebahagiaan memang terletak pada pencapaian, atau justru pada cara kita memandang hidup itu sendiri?

Apa Itu Hedonic Treadmill?

Istilah hedonic treadmill pertama kali muncul dalam psikologi modern untuk menjelaskan paradoks manusia dalam mengejar kebahagiaan. Secara sederhana, ini adalah fenomena di mana manusia cepat beradaptasi dengan pencapaian atau kondisi baru, sehingga kebahagiaan yang dirasakan hanya sementara. Begitu terbiasa, standar meningkat lagi, dan kita kembali berlari mengejar sesuatu yang lebih tinggi.

Psikolog Brickman dan Campbell (1971) yang pertama kali mempopulerkan konsep ini melalui studi tentang adaptasi hedonis. Hasilnya mengejutkan: bahkan mereka yang mendapatkan perubahan besar dalam hidup---seperti memenangkan lotre atau mengalami kecelakaan serius---pada akhirnya kembali ke tingkat kebahagiaan "normal" mereka setelah beberapa waktu. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan bukan ditentukan semata oleh keadaan eksternal, melainkan juga oleh "set point" psikologis dalam diri kita.

Ambil contoh sederhana. Seseorang yang mendapat kenaikan gaji 50 persen tentu merasa senang luar biasa pada bulan pertama. Namun, seiring berjalannya waktu, pola hidup ikut naik: rumah lebih besar, cicilan bertambah, kebutuhan sehari-hari makin tinggi. Alhasil, rasa cukup kembali menghilang. Kenaikan gaji yang dulu dirasa luar biasa, kini dianggap standar baru yang "masih kurang."

Fenomena ini tak hanya terjadi pada aspek finansial. Punya pasangan, lalu menikah, lalu punya anak, lalu ingin rumah sendiri, lalu ingin kendaraan baru---rantai kebutuhan seperti tidak ada habisnya. Sama halnya dengan tren gaya hidup di media sosial: setelah satu postingan mendapat banyak "like," muncul dorongan untuk membuat postingan berikutnya lebih menarik, lebih estetik, lebih viral.

Di titik ini, hedonic treadmill menjelma seperti jebakan halus. Kita merasa sedang berlari menuju kebahagiaan, padahal sejatinya hanya mengulang lingkaran yang sama.

Hedonic Treadmill dalam Kehidupan Sehari-hari

Fenomena hedonic treadmill bukan sesuatu yang jauh dari keseharian kita. Justru ia hadir diam-diam dalam berbagai aspek hidup, dari urusan gawai hingga gengsi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun