Menjadi orang tua di zaman ini membuat saya sering merasa sedang ikut sekolah kembali. Setiap hari, tumbuh kembang anak menjadi cermin yang memantulkan wajah pendidikan yang sesungguhnya. Dari mereka, saya belajar bahwa keberhasilan bukan hanya tentang nilai rapor atau ranking, melainkan tentang keberanian menghadapi masalah, rasa ingin tahu yang tidak padam, dan kemampuan untuk bangkit setelah jatuh.
Kenyataannya, dunia anak-anak kita hari ini jauh berbeda dengan dunia masa kecil kita dulu. Perubahan begitu cepat, teknologi semakin merasuk, dan kompetisi terasa kian ketat. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan hafalan atau latihan soal, melainkan harus dilengkapi keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan kerja sama. Di titik inilah kita sebagai orang tua dituntut hadir, bukan sekadar menyerahkan seluruh urusan pada sekolah.
Bagi saya, inilah makna sejati dari Pendidikan Bermutu: pendidikan yang menyentuh ranah kognitif sekaligus emosional, pendidikan yang melibatkan sekolah dan keluarga sebagai satu kesatuan. Dengan keterlibatan itu, anak-anak kita akan lebih siap, bukan hanya dalam arti akademik, tapi juga mental dan sosial. Karena pada akhirnya, tujuan kita semua sama: membantu mereka Siap Hadapi Tantangan Abad 21Â dengan penuh percaya diri.
Azka dan Pelajaran tentang Ketangguhan
Pagi itu, wajah Azka terlihat masam. Rupanya ada tugas seni yang belum ia kerjakan. Rasa takut dan malu langsung menyelimutinya. Ia menangis, berkali-kali bilang tidak mau berangkat sekolah. Sifatnya memang begitu: supel dalam pergaulan, mudah diterima teman, tapi rapuh ketika berhadapan dengan masalah.
Sebagai orang tua, saya dan istri sudah hafal betul dengan karakternya. Kalau ada persoalan, bukannya mencari jalan keluar, Azka cenderung membayangkan skenario buruk---dihukum guru, diejek teman, atau dipermalukan di kelas. Padahal, semua itu belum tentu terjadi. Kami pun mengambil sikap: tetap mendorongnya berangkat ke sekolah. Bukan karena tega, tapi karena kami ingin ia belajar satu hal penting: masalah tidak bisa dihindari dengan kabur.
Sepulang sekolah, Azka pulang dengan wajah cerah. Senyum simpulnya seperti menertawakan dirinya sendiri. Guru seni sama sekali tidak menghukumnya, bahkan memberi arahan dengan sabar. Dari kejadian itu, saya melihat jelas bagaimana anak belajar menghadapi ketakutannya.
Pengalaman kecil seperti ini sejatinya bagian dari Pendidikan Bermutu. Anak tidak hanya belajar menyelesaikan soal di atas kertas, tapi juga melatih mental untuk menghadapi rasa cemas dan mengubahnya menjadi keberanian. Bukankah hidup di masa depan pun penuh dengan ketidakpastian? Jika anak bisa menghadapi tugas seni dengan kepala tegak hari ini, ia sedang berlatih untuk Siap Hadapi Tantangan Abad 21Â di kemudian hari.
Daffa dan Pentingnya STEM
Berbeda dengan Azka, kakaknya Daffa punya kepribadian yang lain. Ia lebih tenang, cenderung analitis, dan sering kali menunjukkan rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal ilmiah. Saya masih ingat ketika ia dipilih menjadi wakil sekolah untuk Olimpiade Sains. Itu bukan semata soal kepintaran, melainkan bagaimana rasa ingin tahunya membuat ia tekun mencari jawaban.
Suatu hari, Daffa bertanya dengan polosnya, "Ayah, kenapa lampu bisa nyala hanya dengan pencet saklar?" Pertanyaan sederhana, tapi menyentuh inti sains dan teknologi. Saya tersenyum, sekaligus sadar: anak-anak kita punya rasa ingin tahu yang luar biasa. Tugas kita bukan memberi semua jawaban, melainkan menumbuhkan keberanian mereka untuk terus bertanya dan mencari tahu.
Di sinilah pentingnya pendekatan STEM---Science, Technology, Engineering, Math. Bagi sebagian orang tua, istilah ini mungkin terdengar rumit, seolah hanya milik sekolah-sekolah maju dengan laboratorium lengkap. Padahal, STEM bisa hadir di rumah lewat hal sederhana: eksperimen gunung berapi dengan soda kue, menghitung takaran bahan saat membantu ibu membuat kue, atau memperbaiki mainan yang rusak dengan logika rekayasa. Semua itu adalah latihan berpikir ilmiah sekaligus keterampilan hidup.