Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berhenti Mengontrol, Mulai Hidup: Seni Melepaskan

23 Juli 2025   13:57 Diperbarui: 25 Juli 2025   10:05 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pernahkah kamu merasa hidupmu seperti lomba maraton tanpa garis finish?"
Setiap hari kita bangun dengan satu misi: mengendalikan. Jadwal harus sempurna, karier harus cemerlang, hubungan harus harmonis. Kita mencatat target, menyusun strategi, dan mengejar validasi tanpa henti. Namun, mengapa meski semua itu kita lakukan, rasa tenang tetap menjauh?

Mungkin kita tidak sadar bahwa obsesi mengontrol segalanya adalah sumber kelelahan mental terbesar zaman ini. Seperti komputer yang memproses ratusan tab sekaligus, pikiran kita penuh dengan "bagaimana kalau gagal?", "apa kata orang?", "apa langkah selanjutnya?". Akhirnya, kita hidup dalam mode survival, bukan presence.

Carl Jung, psikolog yang dikenal dengan kedalaman analisis jiwanya, menyingkap paradoks penting:

"Semakin keras kita berusaha memegang kendali, semakin kita kehilangan arah."

Di sinilah titik baliknya. Apa jadinya jika hidup bukan tentang memperketat genggaman, tapi justru tentang melepaskan? Apa artinya melepaskan? Apakah itu berarti menyerah pada nasib? Atau justru, seperti kata Jung, melepaskan adalah gerbang menuju integritas diri dan kebebasan sejati?

Mari kita telusuri bersama.

Siapa Carl Jung?

Carl Gustav Jung (1875--1961) adalah seorang psikiater asal Swiss yang dikenal sebagai bapak psikologi analitik. Ia pernah bekerja sama dengan Sigmund Freud, bapak psikoanalisis tetapi kemudian mengembangkan pemikiran sendiri yang lebih menekankan kedalaman jiwa, simbol, dan spiritualitas.

Konsep-konsep Jung seperti persona (topeng sosial), shadow (bayangan), dan individuasi telah menjadi landasan bagi terapi modern dan pengembangan diri. Menariknya, Jung percaya bahwa kebahagiaan bukan tentang menghindari ketidakpastian, tetapi berani menyelami kedalaman batin kita sendiri.

Dalam kata-katanya yang terkenal:

"Siapa yang melihat keluar sedang tertidur, siapa yang melihat ke dalam akan terbangun."

Pemikiran ini relevan sekali di era sekarang, ketika kita sibuk mengendalikan segalanya, tapi lupa mendengarkan suara dari dalam diri.

Carl-Jung-Swiss-psychiatrist-Burgholzli-Asylum-Zurich-1909. Sumber: britannica.com/biography/Carl-Jung
Carl-Jung-Swiss-psychiatrist-Burgholzli-Asylum-Zurich-1909. Sumber: britannica.com/biography/Carl-Jung

Budaya Kontrol --- Mengapa Kita Lelah?

Hidup di era modern sering terasa seperti ikut lomba yang aturannya berubah setiap menit. Kita dibombardir pesan motivasi:
"Jangan pernah menyerah!", "Kamu harus jadi versi terbaik dirimu!", "Goal setting adalah segalanya!"

Sekilas terdengar keren, tapi coba lihat sekeliling. Kita hidup di tengah budaya performa, di mana nilai diri seakan diukur dari seberapa sibuk jadwal kita dan seberapa banyak pencapaian yang kita pamerkan di media sosial. Akhirnya, kita lupa satu hal: hidup bukan project management system yang harus rapi sesuai timeline.

Di sinilah paradoks muncul. Kita kira semakin banyak kontrol, semakin tenang hidup kita. Faktanya? Semakin kita mengejar kontrol, semakin kita merasa cemas. Jung menyebutnya manifestasi neurotik---kondisi ketika ego memaksa dunia untuk tunduk pada kehendaknya, demi menghindari rasa takut akan ketidakpastian.

"Neurosis selalu muncul sebagai pengganti pengalaman yang asli." -- Carl Jung

Dengan kata lain, obsesi kita untuk mengatur segala hal sebenarnya hanya cara untuk menghindari sesuatu yang jauh lebih menakutkan: menghadapi diri sendiri.

Yang ironis, budaya ini diam-diam menciptakan mental load yang berat. Kita tak hanya merencanakan masa depan, tapi juga mengelola citra agar terlihat sukses, bahagia, dan "baik-baik saja" di mata orang lain. Akhirnya, kita hidup dalam kapsul kontrol, mengorbankan spontanitas demi stabilitas semu.

Hasilnya?

  • Pikiran jadi seperti browser dengan 50 tab terbuka.
  • Hati terasa penuh, tapi kosong di dalam.
  • Kita lupa bahwa yang kita sebut "hidup" kini hanyalah daftar tugas tanpa rasa.

Pertanyaannya, sampai kapan kita mau hidup dengan napas yang sesak ini?

Melepaskan Bukan Menyerah --- Paradoks yang Menyembuhkan

Kata "melepaskan" sering terdengar seperti sinyal kekalahan. Seolah kalau kita melepaskan, berarti kita malas, tidak ambisius, atau menyerah pada nasib. Padahal, Carl Jung justru menganggap melepaskan sebagai salah satu langkah paling berani dan sehat bagi jiwa.

Kenapa? Karena melepaskan itu bukan tentang berhenti bergerak. Ini tentang mengganti mode hidup dari "memaksa" menjadi "mengalir". Kita tetap punya arah, tapi tidak lagi terjebak pada obsesi untuk memastikan semua sesuai skenario ego kita.

"Perubahan sejati terjadi ketika kita berhenti melawan alur alami kejadian." -- Carl Jung

Paradoks ini indah:

  • Saat kita berhenti mengejar dengan putus asa, justru hal-hal yang kita butuhkan mulai datang tanpa paksaan.
  • Saat kita memberi ruang untuk ketidakpastian, peluang baru yang dulu tak terlihat muncul ke permukaan.

Bayangkan sebuah sungai. Jika kita berenang melawan arus, kita akan lelah, frustasi, bahkan tenggelam. Tapi kalau kita membiarkan diri mengapung sambil tetap mengarahkan tubuh dengan bijak, kita akan sampai lebih jauh dengan energi yang lebih hemat. Begitulah hidup.

Namun hati-hati, melepaskan bukan berarti menjadi pasif. Jung menekankan bahwa ini bukan soal duduk diam sambil berharap keajaiban. Ini tentang mengamati dengan sadar, mendengar intuisi, dan bertindak tanpa obsesi akan hasil.

Melepaskan adalah sikap percaya bahwa ada kebijaksanaan lebih besar---baik di dalam diri kita maupun di luar---yang tidak bisa dikendalikan oleh ego. Dan ketika kita percaya pada alur ini, kita menemukan hal yang selama ini kita cari: kedamaian yang tidak tergantung hasil.

Persona, Bayangan, dan Luka yang Membebaskan

Jung percaya, sebagian besar penderitaan kita bukan datang dari dunia luar, tapi dari konflik internal antara siapa kita sebenarnya dan siapa yang kita pura-pura jadi.

Di satu sisi, ada Persona---topeng sosial yang kita kenakan agar diterima: profesional yang disiplin, teman yang selalu ceria, pasangan yang "baik-baik saja." Persona ini tidak buruk. Ia seperti jas hujan: berguna saat hujan, tapi gawat kalau kita pakai terus-menerus.

Masalahnya muncul ketika kita terlalu mengidentifikasi diri dengan persona. Kita lupa bahwa di balik topeng itu ada ruang batin yang rapuh, lelah, dan sering menangis diam-diam. Menurut Jung, saat kita hidup hanya untuk menjaga citra, kita akan terus-menerus merasa hampa meski terlihat sukses.

Dan di sisi lain, ada Bayangan (Shadow)---bagian diri yang kita tolak dan sembunyikan: kemarahan, iri hati, ketakutan, keinginan yang "tidak pantas." Kita menekannya karena takut kehilangan citra baik. Tapi menolak bayangan bukan membuatnya hilang. Justru ia menjadi lebih kuat dan mengendalikan kita diam-diam:

  • Marah pada orang sombong? Bisa jadi karena kita menolak sisi sombong dalam diri.
  • Benci melihat orang bahagia? Mungkin karena kita menolak rasa iri yang terpendam.

"Tidak ada pencerahan tanpa bertemu dengan kegelapan jiwa." -- Carl Jung

Mengapa ini penting? Karena energi yang kita habiskan untuk menolak bagian diri ini sangat besar. Kita jadi lelah bukan karena kerja, tapi karena pura-pura. Kita kehabisan daya bukan karena dunia terlalu berat, tapi karena kita sedang berperang melawan diri sendiri.

Proses melepaskan, menurut Jung, adalah berani mengakui bahwa kita tidak sempurna. Kita bukan malaikat, dan itu tidak apa-apa. Saat kita berdamai dengan bayangan, kita berhenti menyalahkan orang lain, berhenti mencari kambing hitam, dan mulai pulang ke rumah batin kita sendiri.

Langkah ini bukan indah seperti film drama yang penuh cahaya. Ia sering kali gelap, membingungkan, bahkan menyakitkan. Tapi di balik rasa sakit itu, ada kebebasan yang selama ini kita cari. Karena melepaskan tidak hanya soal membuang sesuatu di luar, tapi juga menerima bagian dalam diri yang kita hindari.

Dari Kekosongan ke Kreativitas

Banyak orang takut melepaskan karena satu hal: kekosongan. Setelah kita berhenti mengejar, berhenti berpura-pura, dan menanggalkan topeng, akan ada ruang kosong yang terasa aneh. Tidak ada drama, tidak ada proyek ego untuk dikejar. Hanya ada diam yang sunyi.

Tapi, seperti tanah yang harus diistirahatkan sebelum musim tanam, kekosongan ini adalah ruang subur. Di sinilah energi psikis yang tadinya habis untuk mengontrol dan mempertahankan citra akan mengalir ke sesuatu yang lebih kreatif dan otentik.

Jung menyebut momen ini sebagai pemulihan energi psikis. Semua tenaga yang dulu tersedot untuk "bagaimana caranya terlihat baik" kini bebas digunakan untuk hal-hal yang membuat kita hidup lebih nyata:

  • Menulis bukan untuk viral, tapi untuk ekspresi.
  • Memasak bukan untuk pamer foto, tapi karena ingin merasakan rasa.
  • Berjalan santai bukan demi konten, tapi demi mendengar langkah sendiri.

"Kreativitas bukan sekadar seni, tetapi reorganisasi hidup yang lahir dari ruang batin yang lapang." -- Adaptasi dari pemikiran Jung

Ketika kita berhenti bereaksi dan mulai memilih dengan sadar, ide-ide muncul tanpa paksaan. Solusi datang tanpa drama. Hidup berhenti terasa seperti medan perang, dan mulai terasa seperti tarian: kita bergerak mengikuti musik yang kadang pelan, kadang cepat, tapi selalu harmonis.

Melepaskan ternyata bukan akhir, tapi jembatan menuju kebebasan. Dari ruang kosong inilah lahir kebaruan---dalam karya, dalam hubungan, dalam cara kita memandang hidup. Dan yang paling indah, kita tidak lagi mencipta untuk membuktikan siapa kita, melainkan karena kita sudah cukup dengan diri kita sendiri.

Keberanian untuk Tidak Selalu Kuat

Kita hidup di dunia yang menyanjung kekuatan, produktivitas, dan ketahanan. Dari kecil kita diajarkan untuk terus maju, jangan menyerah, jangan tunjukkan kelemahan. Tapi apakah hidup benar-benar tentang menjadi kuat sepanjang waktu?

Carl Jung memberi kita perspektif lain: hidup justru dimulai saat kita berani mengakui batas. Ketika ego akhirnya berhenti mengklaim posisi sebagai penguasa, ruang baru terbuka---ruang yang dipenuhi kejujuran, kedamaian, dan kebebasan yang tidak kita temukan dalam lomba tanpa akhir.

Melepaskan bukan tanda kekalahan, melainkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan untuk berkata,

"Aku tidak harus mengontrol semuanya agar hidupku berarti."

Kadang keberanian terbesar bukan menambah pegangan, tapi melonggarkan genggaman. Karena saat kita berhenti melawan alur hidup, kita menemukan sesuatu yang lebih kuat dari rencana mana pun: ketenangan dalam menerima diri apa adanya.

Dan di titik itulah kita berhenti menjadi "aktor yang sibuk menjaga peran" dan mulai menjadi manusia yang hadir. Kita mulai mencintai bukan karena takut kehilangan. Berkarya bukan karena ingin validasi. Hidup bukan lagi kompetisi, melainkan pengalaman untuk dirasakan sepenuhnya.

Jadi, beranikah kamu melepaskan? Beranikah kamu menanggalkan topeng dan bertemu dirimu sendiri---dengan segala ketidaksempurnaan yang ternyata membuatmu utuh?

Karena di sanalah, keberanian untuk tidak selalu kuat justru menjadikan kita sungguh-sungguh hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun