Kadang kita terlalu percaya logika sendiri. Atau sebaliknya, kita terlalu larut dalam perasaan tanpa saring. Tekanan sosial juga bikin kita sulit mendengar suara hati. Kita takut salah langkah, takut terlihat bodoh, takut tidak sesuai ekspektasi orang.
Carl Jung bilang, penderitaan manusia modern datang dari konflik antara kesadaran dan bawah sadar. Antara logika dan nurani. Kalau salah satu terlalu dominan, kita jadi timpang. Kita bisa cerdas, tapi kosong. Atau peka, tapi tak punya arah.
Karena itu, butuh ruang aman dalam diri. Tempat otak dan hati bisa duduk bersama. Tanpa saling mengalahkan. Tanpa perlu berebut kendali.
Penutup -- Damai Itu Bukan di Luar, Tapi Saat Otak dan Hati Tidak Lagi Bertengkar
Damai itu bukan ketika masalah selesai. Tapi ketika kamu tahu, apa pun yang terjadi, kamu menjalaninya dengan kepala yang jernih dan hati yang tenang.
Rumi pernah menulis: logika cocok untuk pasar, tapi cinta dibutuhkan di rumah. Dan mungkin itu benar. Otak penting untuk bertahan. Tapi hati penting untuk pulang.
Hidup yang utuh bukan soal seberapa cerdas kamu mengatur strategi. Tapi seberapa dalam kamu memahami makna. Otak dan hati bukan musuh. Mereka saudara tua yang hanya ingin diperdengarkan bergantian.
Jadi, lain kali kamu bingung mengambil keputusan, jangan tanya Google dulu. Tanyakan dulu pada dua penasihat paling setia dalam dirimu: otak dan hati. Kalau mereka sepakat, mungkin di sanalah letak damainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI