Mohon tunggu...
Fauzan Ismail
Fauzan Ismail Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Sarana Media Creative | Digital Marketing Head - Content Editor | HMI Kom's FISIP USU| Alam Raya Sekolahku, Pengalaman Guruku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan Warung Kopi (Refleksi Sosial Kaum Pinggiran)

17 Desember 2015   14:05 Diperbarui: 8 Januari 2016   09:18 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: www.medan.panduanwisata.id"][/caption]Hari itu sore terlihat mendung, masih jam 4 saat kutatap arloji di tanganku. Udaranya enak dan sejuk, tidak seperti biasanya yang saya rasakan di kota yang padat seperti ini. Jarang – jarang memang di Tangerang udaranya sesejuk ini, walaupun kepulan asap kendaraan bermotor dan hiruk pikuk polusi suara masih hilir mudik di sekitaran warung kopi tempat saya melepaskan lelah waktu itu. Bulan desember, ya wajar sih, sudah gilirannya musim hujan di kota ini dan semacam berkah bagi masyarakat saat musim hujan tiba, setelah sekian lama merasakan kemarau panjang dan krisis air beberapa bulan belakangan ini.

Masyarakat disini seperti biasanya memiliki tutur bahasa yang ramah dan santun, sebagai orang Medan, saya harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang seperti ini. Saat itu dengan ditemani nikmatnya secangkir kopi susu panas yang menghangatkan sejuk hari itu, tak berapa lama disamping saya duduk sesosok pria yang cukup berumur, sepertinya pekerja bangunan serabutan di salah satu apartemen yang sedang dalam proses pembangunan. Tangannya terlihat kasar dengan peluh keringat yang menutupi tubuhnya hingga tampak mengkilap.

“Kopi item ne siji ya mbak” Ujarnya ke mbak pemilik warung

“Inggeh mas” Balas si mbak

Tak berapa lama pesanan si mas tadi datang

“Mari mas” Sapanya ke saya


“Iya, terima kasih” saya balas

Disini memang biasa begitu, tidak begitu berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan di kampung halaman saya, sebelum makan atau minum, ada semacam tata krama untuk menawarkan atau sekedar izin ke orang yang berada disebelah atau sekitar kita.

“Kerja didepan ya mas?” Tanyanya sambil menunjuk salah satu gedung mall di Tangerang yang kebetulan adalah tempat saya bekerja sekarang

“Iya mas” kubalas sambil mengangguk

“Iya, begitu lah ya mas, namanya juga hidup, harus kerja keras untuk makan sama kebutuhan anak istri” Ujarnya

“Iya mas, kebetulan saya masih tinggal sendiri kok, hehehe” Balasku sambil menikmati kopi susu hangat yang tersaji di meja

“Lagi ngerjain proyekan di apartemen depan ya mas?” Lanjut saya

“Iya mas, kerja – kerja serabutan gitu lah mas, sedikit – sedikit yang penting halal ya mas” Balasnya sambil menghirup kopi hitamnya

“Jaman sekarang hidup harus kerja keras mas, gak kerja, gak makan” Lanjutnya

“Selagi masih punya tenaga, apa aja mesti dikerjai asal halal mas, yang penting kan tidak menyusahkan orang lain” Lanjutnya lagi

“Iya sih mas, sekarang apa – apa mahal ya, kalau tidak bisa pandai – pandai kita berusaha, habis lah kita mas, hehehe” Balas saya sambil membawa suasana jadi lebih cair

“Bener mas, saya ngerasain sendiri gimana susahnya nyari uang sekarang, harga kebutuhan pokok dan ongkos naik terus, sementara pendapatan rakyat kecil seperti saya ini begini – begini saja” Keluhnya dengan ekspresi sedikit serius

“Lihat lah seperti kemaren, BBM naik, ujung-ujungnya semua pada ikutan naik, katanya itu subsidi BBM akan dialihkan ke sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan – bantuan lainnya untuk rakyat kecil, nyatanya kan tetap aja, apa – apa mahal kan” Tegasnya lagi melanjutkan pembicaraan

Melalui kalimat yang disampaikannya, setidaknya saya sependapat bahwa tidak mudah menjalani hidup sebagai rakyat kecil. Ditengah kesulitan untuk mendapatkan penghasilan, harga kebutuhan pokok juga terus melonjak naik. Banyak orang yang mungkin dengan gampangnya mengatakan “Kebanyakan ngeluh aja lu! gak bersyukur dengan apa yang dipunya” “Makanya kerja yang bener! jangan mengeluh aja”

Teringat akan ocehan bernada “sinis” seperti itu saya jadi teringat dengan salah satu penggalan lirik lagu “Orang Pinggiran” milik Frenky Sahilatua dan Iwan Fals, disebutkan dalam lirik lagu tersebut bahwa orang pinggiran itu bukan pemalas, justru mereka itu adalah seorang yang pekerja keras. Sedikit bercerita mengenai pengalaman dulu saat saya masih di Medan, setiap pagi jam 3 dini hari, disaat semua orang tengah lelap tertidur pulas dirumahnya masing – masing, mereka orang kecil yang kata orang pemalas itu, justru sudah pada menggelar dagangan di pasar - pasar.

Lanjut menuju jam 5 pagi, sudah mulai buka beberapa warung yang menyajikan hidangan sarapan pagi. Bisa dibayangkan tidak, jam berapakah mereka bangun untuk menyediakan menu sarapan untuk buka warung jam 5 pagi? Jadi, tuduhan pemalas dan tukang ngeluh yang biasanya ditujukan kepada mereka rasanya tidak tepat. Melihat kondisi seperti itu harusnya mengajarkan kita untuk lebih banyak bersyukur dan berbagi. Sesekali juga, ikut berbaur untuk melihat langsung kondisi mereka yang sebenarnya.

Disini, di kawasan Jabodetabek, memang cukup berbeda, dan bisa saya katakan bahwa angka kesenjangan sosialnya cukup parah dibandingkan kota – kota lainnya. Ditengah gemerlap kota yang mewah, modern dengan barisan gedung – gedung yang menjulang tinggi mencakar langit ibukota. Kita lupa bahwa dibalik itu semua ada kemelaratan yang melanda sebagian masyarakatnya. Tidak perlu jauh – jauh untuk mencari pemandangan suram ibukota hingga sampai ke pedalaman, cukup anda naik kereta commuter line rute Jabodetabek, dan lihatlah bagaimana gambaran masyarakat pinggiran yang bisa anda saksikan langsung dari kaca jendela kereta. Kalau biasanya kita tinggal nyaman dirumah, dengan beberapa kamar tidur, dapur, kamar mandi khusus dan ruang keluarga, maka rumah-rumah yang nantinya kita lihat disana hanyalah sebatas tenda kecil, gelaran tikar dan kasur kecil serta wc umum.

“Hidup di ibukota ini keras mas” Lanjutnya ke saya yang tadi sedikit merenungi kata – katanya

“Iya mas, tapi mas, yang namanya rejeki sudah ada yang mengatur ya, yang penting kita mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan ke kita” Jawab saya sembari lebih mencairkan suasana

“Setidaknya kan kita sudah berusaha” Lanjut saya

“Iya sih mas, apapun mesti kita syukuri mas, saya walaupun kerja beginian, tapi saya bangga mas, mendapatkan penghasilan dengan cara yang halal. Tidak mengakal – akali orang, gak nyusahin orang mas, daripada kerja berbalut jas di gedungan mewah tapi korupsi, malingin uang Negara dari hasil pajak kita – kita rakyat kecil begini, jalan – jalan dan berfoya – foya pakai uang rakyat, jauh lebih mulia mungkin kita - kita yang kerja serabutan gini dibandingkan mereka yang hidup dari jalan penghasilan yang tidak baik” Ujarnya geram

“Iya, bener sih mas, kemuliaan dari pekerjaan bukanlah dinilai dari tempatnya yang mewah, pakaiannya yang necis dan penghasilannya yang besar, tapi dari keikhlasan dan kejujuran kita saat mencari rezeki melalui jalan yang baik” Ujar saya sebagai tanda setuju dengan apa yang disampaikannya.

“Bener mas, kalau kata orang kita dibilang suka ngeluh, pemalas, ya karena mereka saja yang gak tahu gimana sebenarnya masyarakat kecil ini, mungkin mereka sudah nyaman dengan kecukupan hidupnya, jadi tidak begitu tahu gimana kehidupan rakyat kecil. Kalau saja mereka tahu gimana kehidupan kami, dan bagaimana kerasnya kami menjalaninya, pasti gak semudah itu mereka beranggapan begitu” Tegasnya.

Tidak mudah memang menjalani kehidupan dengan himpitan ekonomi yang sulit saat ini. Kebutuhan hidup semakin sulit didapat ditengah melonjaknya harga, biaya pendidikan yang katanya terbantu melalui 20% APBN juga tidak semuanya dirasakan oleh rakyat kecil, yang ada hanyalah pepesan kosong sekolah gratis yang selalu menjadi jualan janji calon – calon pemimpin saat Pemilu dan Pilkada. Begitu juga dengan janji kesehatan murah yang berujung pungutan kolektif masyarakat dengan dalih gotong royong, padahal tidak ada bedanya dengan premi asuransi.

“Ya, setidaknya kita jalaninnya ikhlas mas, bisa jadi entah kedepan kita bisa dapetin pemimpin yang peduli sama rakyatnya, peduli sama kita – kita rakyat kecil, ya, kita doain aja la mas” Jawab saya singkat, sambil bersiap – siap untuk melanjutkan aktifitas, karena ada beberapa tugas yang mesti saya kerjakan hari itu di kantor.

“Iya mas, mudah – mudahan la mas, kita ini mah cuma bisa berharap dan berdoa saja lah” Balasnya singkat

“Saya duluan ya mas” Jawab saya, sambil izin untuk beranjak dari warung tersebut

“Iya mas” Balasnya sambil mengangguk senyum.

Begitu banyak pembicaraan yang begitu bermakna di lingkungan masyarakat kecil, tidak terkecuali dengan apa yang terjadi hari itu. Hanya saja mungkin sebagian dari kita masih banyak yang kurang berbaur dengan mereka, merasakan keakraban walaupun hanya ditemani secangkir kopi yang tidak lebih harganya dari Rp. 5000, tapi memiliki nilai pembelajaran yang sangat besar. Banyak orang dengan penghasilan besarpun tidak merasakan kebahagiaan, namun bagi mereka yang memiliki keterbatasan, kebahagiaan itu bukanlah lantas dinilai dengan uang, tapi didapatkan dari hidup yang sederhana. Hidup yang apa adanya, jujur, bergaul tanpa melihat sekat – sekat kelas sosial dan yang terpenting, pekerja keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun