Mohon tunggu...
Fatwa Fadillah
Fatwa Fadillah Mohon Tunggu... -

I'm the ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Smong” Budaya yang Menyelamatkan

1 November 2012   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Enggel mon sao surito (dengarlah suatu kisah)

Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala)

Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa)

Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan)

Unen ne alek linon (Gempa yang mengawali)

Fesang bakat ne mali (disusul ombak raksasa)

Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri)

Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba)

Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)

Oek suruk sauli (disusul air yang surut)

Maheya mihawali (segeralah cari tempat)

Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat)

Ede smong kahanne (itulah smong namanya)

Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere (ingatlah ini semua)

Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya)

Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu)

Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu)

Elaik keudang-keudangmo (petir kendang-kendangmu)

Kilek suluh-suluhmo (halilintar lampu-lampumu)[1]

Syair di atas merupakan syair nyanyian atau disebuat nandong dalam bahasa lokal, yang faktanya telah mampu menyelamatkan masyarakat di pulau Simeulue dari terjangan tsunami pada Desember 2004 silam. Secara turun temurun syair nandong ini telah disampaikan sebagai lagu pengantar tidur bagi anak-anak, sehingga menjadi memori kolektif yang terus terbangun sampai saat ini. Pesan dari syair ini sangat sederhana, tetapi berdampak luas terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Simeulue. Bahwa dimasa lampau pernah terjadi gempa (disebut linon dalam bahasa Simeulue) yang cukup kuat, dan kemudian disusul dengan ombak besar yang datang bergulung-gulung menghancurkan seluruh wilayah, itulah smong. Bila kejadian itu datang kembali maka setiap orang harus segera lari ke arah dataran tinggi, agar selamat dari terjangan smong. Kira-kira itu pesan yang ingin disampaikan pada syair nandong tersebut.

Sejarah Smong

Minggu pagi, 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00 wib, bumi Aceh diguncang oleh gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter. Masih melekat betul dalam ingatan bagaimana tayangan televisi ketika itu, yang menyuguhkan hasil rekaman video amatir berupa gambar gelombang tsunami yang terus menerjang seluruh material yang ada dihadapannya. Kepanikkan dan ketakutan masyarakat yang begitu hebat, mayat-mayat bergelimpangan dengan bermacam-macam kondisi, serta bangunan rata dengan tanah menjadi pemandangan yang terus terlihat ketika itu. Sekitar 250.000 jiwa di seluruh wilayah pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam meninggal hanya dalam waktu tidak sampai setengah hari, seakan ingin menunjukkan kekuatannya yang maha dahsyat.

Kejadian tersebut serentak dirasakan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam termasuk pulau Simeulue. Pulau yang hanya berjarak 40 mil laut dari episentrum gempa penyebab tsunami ini juga dilanda kerusakan yang masif seperti di daratan Sumatera. Namun pada kejadian yang sama, di pulau Simeulue hanya menelan korban jiwa sebanyak 7 orang dari jumlah penduduk yang kala itu sekitar 78.129 jiwa. Perbandingan kontras ini merupakan kekuasaan Sang Pencipta yang telah memberikan kekuatan kepada masyarakat Simeulue melalui pesan-pesan tentang smong.

Smong hadir di kehidupan masyarakat Simeulue sejak tahun 1907. Walaupun sebelum itu, tsunami/smong pernah terjadi untuk pertama kali pada tahun 1883, yang kemungkinan terkait erat dengan letusan gunung Krakatau. Tsunami kedua yang masih diingat masyarakat Simeulue terjadi pada tahun 1907, yang disinyalir akibat adanya pergerakan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Berdasarkan catatan sejarah, pada hari Jum’at, 14 Januari 1907, masyarakat di daerah Salur Kecamatan Teupah Selatan yang ketika itu sedang menunaikan ibadah Shalat Jum’at, merasakan adanya guncangan gempa yang cukup kuat. Sesaat setelah gempa itu terjadi, terlihat air laut surut, dan masyarakat berduyun-duyun berlari kearah pantai untuk mengambil ikan yang menggelapar-gelepar. Dalam hitungan menit, air laut yang tadinya surut kembali dalam wujud gelombang besar. Masyarakat yang sedang sibuk mengambil ikan di pantai sontak terkejut dan berusaha untuk berlari menghindari daerah pantai tersebut. Akan tetapi kecepatan masyarakat berlari tak mampu mengimbangi kecepatan gelombang smong yang datang. Korban nyawa, kehancuran bangunan dan kehilangan harta bencana tak dapat terelakkan.

Sebuah Ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909, mengungkapkan bahwa pulau Simeulue sering terjadi gempa bumi yang bersifat ringan. Dari sinilah kemudian cerita smong itu bergulir. Smong dalam bahasa lokal pulau Simeulue berarti himbauan agar segera lari ke arah bukit setelah gempa karena sebentar lagi air laut naik atau pasang. Warga yang bermukim di pualu Simeulue sangat paham dengan istilah smong walaupun jarak antara desa berjauhan. Ini dihasilkan dari sebuah proses sosialisasi yang menjunjung asas kekerabatan di pulau Simeulue. Setelah kejadian smong tahun 1907 tersebut, Simeulue masih terus dilanda gempa bumi dengan skala yang beragam. Masyarakat yang masih trauma dengan kejadian tersebut, kemudian mengembangkan cerita pengalaman 1907 sebagai upaya membangun sikap kewaspadaan dan siaga, bahwa setiap terjadi gempa maka harus bergegas untuk segera berlari ke dataran tinggi, dan jangan lari ke laut, karena akan ada gelombang besar yang akan datang menghantam daratan.

Proses penyebaran cerita smong

Penyebaran cerita Smong 1907 terjadi melalui cerita lisan (nafi-nafi/nasehat) dan nyanyian (nandong dan buai), secara turun temurun dilakukan, yang pada akhirnya membangun memori kolektif selama 97 tahun (dari tahun 1907 s/d 2004). Mulai dari kakek,nenek,ayah, ibu yang meceritakan kepada cucu dan anak-anaknya pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan turun temurun atau yang biasa disebut sebagai nafi-nafi merupakan cerita yang tidak hanya sekedar menjelaskan tentang sejarah kedahsyatan gelombang smong ketika itu, tetapi juga memberikan nilai-nilai nasehat mengenai gejala-gejala alam yang mendahului sebelum smong terjadi dan apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi.

“Saya mendapatkan cerita ini dari kakek saya saat makan, atau saat waktu senggang dan berkumpul dengan keluarga. Saya masih kecil ketika itu. Tapi kadang cerita itu sering muncul di tengah kami jika sedang berkumpul dengan orang tua lainnya di waktu senggang,” tutur Arsin, seorang nelayan yang tinggal di desa Bunon, Kecamatan Simeulue Timur. “Saya melanjutkan cerita smong kembali kepada anak-anak saya. Saya sendiri belum mengetahui apa itu smong yang disebut sebagai tsunami. Saya belum pernah mengalaminya hingga di kejadian tahun 2004 lalu. Namun saya percaya apa yang telah dikatakan oleh kakek dan ayah saya tentang hal ini adalah benar,” tambah Arsin.[2]

Cerita smong juga dikembangkan melalui nyanyian-nyanyian atau dalam bahasa daerah disebut sebagai nandong atau buai. Seperti umumnya etnik yang berakar budaya melayu, tradisi lisan masyarakat Simeulue berbentuk syair dan pantun. Syair dalam masyarakat Simeulue dikenal dengan nama “nandong”. Biasanya nandong disampaikan dalam bahasa Minangkabau. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Budaya Minangkabau. Pengaruh tersebut dibawa oleh Tengku Di Ujung yang berasal dari Minangkabau ketika menjalankan perintah Sultan Aceh menyebarkan Islam di Pulau Simeulue. Nandong biasanya disampaikan pada acara-acara adat yang mengumpulkan massa.

Berbeda halnya dengan buai, yang merupakan nyanyian untuk menidurkan anak, berasal dari kata membuai-buai, yaitu mengayun-ngayunkan anak di atas ayunan agar dapat tidur dengan nyenyak dengan diiringi nyanyian yang terkadang tidak terstruktur syairnya. Kisah smong 1907 kemudian di masukkan ke dalam buai tersebut, yang kemudian di nyanyikan oleh sang ibu yang sedang mengayunkan anaknya. Berikut petikan syair yang sering digunakan dalam nandong dan buai.

Smong dumek-dumek mo, linon uwak-uwakmo, elaik keundang-keundangmo, kilek lampu-lampumu (tsunami air mandimu, gempa ayunanmu, petir kendang-kendangmu, halilintar lampu-lampumu).

Cerita smong dibawa oleh masyarakat Simeulue dimana pun dia berada. Ketika tsunami 2004 menerjang Aceh daratan, masyarakat Simeulue yang berada di Meulaboh dan beberapa daerah lain di Aceh daratan terbukti selamat. Ironisnya mereka disebut sebagai orang gila oleh masyarakat yang ada di daratan Sumatera. Karena ketika gempa terjadi mereka langsung lari ke gunung. Kisah seorang tukang becak asal Simeulue yang tinggal di Meulaboh. Sesaat setelah gempa kuat terjadi, orang-orang Simeulue mengatakan smong…smong…smong….!!! Tetapi orang disekeliling mereka mengatakan bahwa, “orang Simeulue ini gila, ada gempa mengatakan smong!”, karena orang Meulaboh tak mengenal kata smong. Setelah itu banyak masyarakat Simeulue yang berlari ke wilayah perbukitan untuk menyelamatkan diri. Tindakan ini pun kemudian ditertawakan oleh orang-orang disekitarnya, namun ada juga diantara mereka yang mengikuti kemana orang Simeulue pergi. Ketika itu banyak orang Simeulue yang selamat, sementara sekitar 10 ribu orang di Meulaboh tewas akibat terjangan gelombang tsunami.

Smong sebagai system peringatan dini

Tsunami yang terjadi di kepualaun Mentawai pada Oktober 2010 yang lalu telah mengakibatkan meninggalnya 272 orang, 412 hilang dan sekitar 4000 keluarga tinggal di pengungsian. Berita yang berkembang menyebutkan bahwa besarnya angka kehancuran ini terindikasi disebabkan oleh tidak bekerjanya alat system peringatan dini. Buoy atau pelampung yang terpasang di lepas pantai untuk mendeteksi dan menkonfirmasi data kemunculan tsunami tidak berfungsi karena dirusak. Terlepas dari itu, tidak adanya pemahaman masyarakat tentang tsunami seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue melalui kearifan lokalnya yaitu smong, juga mendukung mengapa kemudiaan masyarakat tak mampu menyelamatkan diri mereka sesaat setelah terjadinya gempa. Ini merupakan pembelajaran yang amat sangat berharga, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan terhadap ancaman gempa bumi dan tsunami. Bahwa kita tidak boleh hanya bersandar terhadap buoy sebagai teknologi system peringatan dini tsunami, mengingat keterbatasan alat tersebut terhadap kerusakan, posisi, ataupun karena adanya upaya orang yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan merusak dan menghancurkan alat deteksi tsunami tersebut.

Fenomena smong yang telah menyelamatkan puluhan ribu masyarakat Simeulue seakan menjadi anti tesis dari teknologi system peringatan dini yang telah dikembangkan. Smong merupakan kata sandi yang dipahami bersama oleh seluruh penduduk di pulau Simeulue untuk menggambarkan terjadinya gelombang pasang setelah terjadinya gempa besar. Mereka bukan hanya memahami kata tersebut saja, tetapi juga mereka memahami tindakan apa yang harus dilakukan apabila peristiwa tersebut terjadi. Bisa dibayangkan ketika gempa yang sebelumnya terjadi pada kejadian tsunami 2004 yang lalu, pada saat itu ada proses evakuasi besar-besaran dalam kurun waktu kurang dari 10 menit secara serentak di seluruh wilayah pantai pualu Simeulue yang panjang garis pantainya mencapai 400 km. Mengingat bahwa infrastruktur telelkomunikasi di Kabupaten Simeulue sangat terbatas maka peristiwa mobilisasi massa tersebut adalah peristiwa yang luar biasa.

Ditengah tidak adanya system peringatan dini tsunami yang memadai, budaya smong yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Kabupaten Simeulue telah mengambil alih fungsi teknologi Tsunami Early Warning System (TEWS) yang sangat mahal dan perlu kemampuan tinggi untuk menggunakannya. Dan terbukti pula budaya ini telah menyelamatkan masyarakat Kabupaten Simeulue dari bencana yang lebih besar.

Budaya smong sebagai budaya penyelamat manusia dari ancaman tsunami kemudian diakui dunia melalui penghargaan SASAKAWA AWARD. Penghargaan ini diberikan oleh masyarakat dunia melalui ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) kepada masyarakat Kabupaten Simeulue. Penghargaan tersebut adalah wujud pengakuan dunia internasional pada kekuatan budaya smong sebagai system peringatan dini tsunami.

“Smong” Budaya Keselamatan

Beragam kejadian bencana di tanah air belakangan ini seakan ingin menunjukkan dan mengingatkan bahwa gugusan kepulauan nusantara telah dihiasi dengan keberadaan ancaman yang terus mengintai. Dari itu pula kemudian kita belajar untuk selalu berbuat sesuatu dalam membangun kondisi masyarakat yang kuat dan memiliki budaya selamat. Tidak sedikit sebenarnya kearifan lokal yang di refleksikan oleh masyarakat tradisional sebagai fenomena alam yang kemudian dijadikan petunjuk sebagai tanda-tanda datangnya bencana alam. Masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, di Jawa Tengah, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Selain masih kuatnya keyakinan spiritual, masyarakat disana biasanya membaca tanda-tanda alam melalui perilaku hewan, seperti turunnya hewan-hewan dari puncak atau keluar dari rimbun hutan, burung-burung atau hewan lainnya mengeluarkan suara yang tidak biasa, atau adanya pohon-pohon di sekeliling kawah yang kering dan mati layu. Ada juga Nias dengan konsep konstruksi rumah adat (omo hada) yang tahan gempa.

Smong yang juga sebuah kearifan lokal dari Simeulue, bukan hanya sekedar kata yang memiliki terminology yang sama seperti tsunami atau lainnya, yang mendefinisikan tentang gelombang besar dari laut yang datang setelah adanya guncangan gempa bumi. Smong juga bukan hanya merupakan rangkaian syair yang dinyanyikan melalui nandong atau buai untuk tujuan menidurkan anak. Akan tetapi smong memiliki nilai-nilai khusus dalam peradaban manusia, yaitu telah membawa keselamatan bagi masyarakat Simeulue melalui pemahaman dan memori kolektif yang seragam. Penggabungan makna dan cara dari keraifan lokal smong menjadi sebuah nilai yang tertanam dalam kehidupan masyarakat pulau Simeulue. Masyarakat harus benar-benar menyadari bahwa hidup mereka berada sangat dekat dengan ancaman. Budaya smong hadir sebagai suplemen bagi masyarakat untuk memiliki ketangguhan dan kuat serta tidak paranoid dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami.

Smong merupakan salah satu paradigma mitigasi yang dipahami sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat pulau Simeulue yang berada pada kawasan rawan bencana untuk menghilangkan atau mengurangi akibat dari ancaman dan tingkat bencana. Akan tetapi dalam pandangan penguranan risiko bencana yang holistic, smong saja tidak cukup. Perlu adanya pemahaman dan pemberdayaan yang lebih luas, sehingga kelak masyarakat tidak lagi hanya menjadi korban bencana, tetapi lebih menjadi sumber daya penolong bagi dirinya sendiri dan lingkungan dalam keadaan bencana. Penyadaran dan pemberdayaan tersebut meliputi system peringatan dini, antisipasi bencana dan respon saat terjadi bencana, serta kemampuan pasca bencana.

Pendidikan nilai membangun budaya selamat dan kuat dalam menghadapi bencana bisa diwujudkan dengan memberdayakan kembali kearifan lokal yang ada. Kini banyak tradisi dan adat istiadat lokal yang sebenarnya kaya dengan nilai-nilai tentang hubungan harmonis antara manusia dengan alam tidak lagi popular bagi generasi muda. Maka penting saat ini untuk kembali menyadarkan dalam mengangkat dan menggali pengetahuan lokal dan kearifan budaya lokal terkait dengan upaya menghadapi ancaman alam. Karena kedepan, peningkatan degradasi lingkungan dan bencana alam semakin tinggi dirasakan.

Melalui smong, telah disebarkan inspirasi untuk hidup akrab bersama bencana dan menjaga alam yang telah terbukti menyelamatkan banyak kehidupan dan kelangsungan anak manusia di muka bumi ini.***

[1] Dikutip dari buku “The Smong Wave From Simeulue”, Penulis; Teuku Abdullah Sanny, diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue.

[2] Dikutip dari tulisan “Smong, Cerita yang terus berlanjut”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun