Mohon tunggu...
fatmasari titien
fatmasari titien Mohon Tunggu... Penulis - abadikan jejak kebaikan, jadikan hidup penuh manfaat

ibu profesional, pembelajar dan pegiat sosial.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kartini: Perjalanan Batin Menuju Cahaya

21 April 2021   10:00 Diperbarui: 21 April 2021   10:04 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: https://www.deviantart.com/cusspahing/

Hari ini bertepatan dengan tanggal 21 April 2021. Hari di mana seluruh rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini, dengan tujuan menghormati dan meneladani perjuangan seorang perempuan bernama Kartini yang kemudian dikokohkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Ia di masa kini, menjadi simbol perjuangan akan kesamaan harkat dan martabat wanita Indonesia, istilah keren-nya kesetaraan gender.

Kartini lahir pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan yang maju dan terpelajar, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara, sehingga gelar Raden Ajeng dilekatkan di depan namanya. Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.

Ayahnya berpandangan maju yang meyakini pendidikan formal sebagai jalan kemajuan bagi anak-anaknya. Beliau juga aktif menyediakan buku-buku dan bahan bacaan untuk meluaskan wawasannya. Semua kakak lelakinya mencapai jenjang sekolah HBS (Hollandsche Burgerscholen), jenjang pendidikan tertinggi di Hindia Belanda. Bahkan kakak tertuanya, RM Sosrokartono, melanjutkan studinya ke Belanda.

Kartini sendiri, bersama dua adik perempuannya, Roekmini dan Kardinah, juga disekolahkan sampai jenjang Sekolah Rendah (ELS, Europeesche Lagereschoolen). Sebagai anak perempuan, Kartini tidak dibolehkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagaimana semua saudara laki-lakinya. Pada usia 12 tahun dia harus dipingit, tidak boleh keluar rumah, sebelum bersuami yang dijodohkan orangtuanya.
Namun, hal tersebut tidak menghalangi Kartini untuk maju. Bacaan koran dan buku-buku Belanda dijadikannya pintu berinteraksi dan berkorespondensi dengan orang-orang Belanda yang menjadi sahabatnya. Saling tukar pikiran tentang budaya, kondisi masyarakat, dan agama masing-masing. Juga soal sistem feodalisme dan adat istiadat yang membelenggu kemajuan masyarakatnya.

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

Perang Diponegoro yang melelahkan dan berlangsung lama (1825-1830) hampir membuat bangkrut kas pemerintah Belanda. Maka hampir semua pengikut Pangeran Diponegoro dikejar, diasingkan atau dibunuh. Meski demikian, sebagian pengikutnya masih tetap tinggal dan menyebar ke berbagai daerah di Jawa. Di antara sesama pengikutnya ini memberikan tanda dengan menanam sebuah pohon sawo kecik di depan tempat tinggal mereka.

Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa ajaran Islam yang ditanamkan oleh Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah sumber masalah yang memancing pemberontakan. Melalui pemikiran seorang Snouck Hugronje, ajaran islam mulai dikerdilkan. Mereka menanamkan kebijakan kolonial yang melarang penerjemahan Alquran dalam bahasa Jawa dan Latin. Larangan ini adalah upaya menjauhkan masyarakat jajahan dari Islam.

Snouck Hugronje juga memandang orang-orang yang memiliki pemikiran seperti Kartini perlu didekati karena bisa berbahaya bagi sistem kolonial Belanda. Dengan demikian, Kartini hidup di era fajar Politik Etis. Sebuah kebijakan politik kolonial yang dilandasi panggilan moral dan utang budi untuk menyejahterakan penduduk jajahan pada 1901.
Namun, dalam kenyataannya, kebijakan ini untuk melayani praktik liberalisme ekonomi yang sudah berlangsung sejak 1870. Terutama kebutuhan akan tenaga-tenaga terdidik Bumiputera untuk menjalankan mesin kapitalisme di tanah Hindia. Di samping itu, juga untuk menjauhkan pikiran rakyat jajahan dari perjuangan jihad fisabilillah seperti dalam perang Diponegoro dan semacamnya.

Kegelisahan Kartini

Kecerdasannya serta kehausannya akan pengetahuan, menjadikan Kartini sebagai perempuan pribumi yang kaya wawasan. Hal ini kadang menyebabkan pikirannya dipenuhi kegelisahan, frustrasi, dan marah, ketika melihat sistem budaya dan agama menjadi penghalang kemajuan. Misalnya, pandangannya awal tentang Islam, ada kesan Kartini kurang bisa menerima karena tidak adanya pengetahuan untuk mengetahui makna Alqur'an, terlebih adanya larangan penerjemahan Alqur'an ke dalam bahasa lain agar lebih dipahami si pemilik bahasa.

Dalam tata nilai adat Jawa, rasa penasaran perempuan yang kini bergelar pahlawan nasional itu bukan hal lumrah. Terlebih lagi dia seorang perempuan. Kartini makin gelisah lantaran para ulama pada zamannya melarang umat Islam untuk mendiskusikan perkara agama dengan non-muslim. 

Sementara itu, kajian agama yang ada pada saat itu hanya diperuntukkan kaum laki-laki saja. Maka yang bisa dilakukannya kala itu hanyalah menuliskan curahan hati kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?" tulis Kartini dalam suratnya.

"Alqur'an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alqur'an tapi tidak memahami apa yang dibaca."

"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"

Kegelisahan Kartini atas keputusan pemerintah melarang penerjemahan Alqu'ran berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Dia lalu mengirimkan surat lagi kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon.

Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu, dia menuliskan tak mau lagi mempelajari Alqu'ran.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alqur'an, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya," tulis Kartini.

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya." 

Pertemuan Kartini Dengan Kiai Sholeh Darat

Kegelisahan Kartini terjawab saat dia bertemu seorang ulama dari Darat, Semarang, Jawa Tengah. Ulama itu adalah Kiai Sholeh Darat. Dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, pamannya, Kartini ikut mendengarkan kajian dari balik tabir. Saat itu, Kiai Sholeh sedang memberikan pengajaran tentang tafsir surat Al Fatihah, surat pembuka dalam Alqur'an. Satu hal yang sangat baru ditemui dan didengar Kartini yang membuatnya begitu terpukau dan tertarik untuk mempelajarinya kembali.

Begitu pengajian usai, Kartini segera menemui pamannya. Ia menyampaikan keinginan bertemu Kiai Sholeh untuk berguru. Perempuan kelahiran Rembang 21 April 1879 itu bahkan sampai mendesak pamannya untuk menemani dirinya menemui sang ulama. Usahanya tak sia-sia. Pamannya yang terenyuh melihat Kartini pun mengantarnya.

"Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" tutur Kartini membuka dialog dengan Kiai Sholeh Darat setelah berbasa-basi lazimnya orang Jawa.

Kiai Sholeh malah balik bertanya, "Mengapa Raden Ajeng mempertanyakan hal ini? Kenapa bertanya demikian?"

Dijawab lagi oleh Kartini, "Kiai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alqur'an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku."

Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al Fatihah. Kyai Sholeh tertegun. Kiai kharismatik itu tak kuasa menyela.

"Namun, saya heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alqur'an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Alqur'an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?" ucap Kartini.

Dialog berhenti sampai di situ. Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali bertasbih, 

 Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Alqur'an ke dalam Bahasa Jawa.

Dalam konteks ini, pandangan Kartini terhadap Islam dan Alqu'ran agar lebih dipahami masyarakat awam telah menabrak kebijakan kolonial yang melarang penerjemahan Alqur'an dalam bahasa Jawa dan Latin. Larangan ini adalah upaya menjauhkan masyarakat jajahan dari Islam. Maka tidak heran jika seorang Snouck Hugrogonje memandang pemikiran Kartini perlu didekati karena bisa berbahaya bagi sistem kolonial Belanda.

Tetapi pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alqur'an. Kiai Sholeh Darat melanggar larangan ini, beliau menerjemahkan Alqur'an dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai. Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Menemukan Cahaya

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kiai Sholeh meninggal dunia. Kitab tafsir dan terjemahan Alqur'an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan, "Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami."

Melalui terjemahan Kiai Sholeh Darat itulah Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu sebuah ayat yang berarti, "Allah adalah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). (QS Albaqoroh: 257)

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang-ulang kalimat "dari gelap menuju cahaya" yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: "Door Duisternis Toot Licht." Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang", yang kemudian menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Kiai Sholeh Darat membawa Kartini dalam perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) mulai berubah.

Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan."

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai."

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."

Kartini meninggal pada usia muda, 25 tahun. Ia lahir tanggal 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904, empat hari setelah anak pertamanya lahir pada 13 September 1904.

Kemunculan Kartini sebagai perempuan priyayi yang terdidik, dianggap pembuktian kepada masyarakat Eropa bahwa Belanda "berhasil" mendidik negeri jajahannya. Karena Kartini sendiri mulai dikenal di Belanda sekitar 7 tahun setelah meninggal, tepatnya tahun 1911. Tahun di mana buku yang memuat surat-suratnya kepada para sahabat penanya di Belanda, Door Duisternis Tot Licht atau "Habis Gelap Terbitlah Terang" diterbitkan dan disunting oleh tokoh Politik Etis, HJ Abendanon.

Memaknai Perjuangan Kartini

Banyak perempuan yang salah memaknai perjuangan Raden Ajeng Kartini. Yakni dengan menganggap perjuangan Kartini adalah emansipasi menuju peradaban perempuan Barat yang diwarnai gaya hidup hedonis, materialistis dan serba mewah.

Kartini memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi perempuan bukan untuk mengungguli peran laki-laki, tetapi agar para ibu bisa mempersiapkan anak-anaknya menjadi sosok yang berguna di masa depan.

Salah satu pesan beliau yang patut digarisbawahi adalah:
"Perempuan harus cerdas, trampil dan berbudi pekerti luhur agar dapat mengemban tugasnya sebagai ibu bangsa. Karena, ibulah pendidik yang pertama-tama."

Pesan ini sangat sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang memandang ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya (Al ummu madrosatul 'ula).

Sejalan juga dengan keyakinan bahwa perempuan adalah tiang negara. Bila perempuannya kuat dan baik akhlaknya, maka bangsa itu akan tumbuh menjadi bangsa yang kuat. Bila perempuannya lemah dan rusak akhlaknya, maka bangsa itupun akan lemah dan mudah dihancurkan.

Kartini bukan memperjuangkan hedonisme, budaya materialistis, konsumtif maupun gaya hidup serba mewah. Namun Kartini memperjuangkan perempuan harus berkualitas, berpendidikan, perempuan harus terus berkarya, berinovasi, perempuan yang partisipatif dalam berbagai bidang, agar dapat menyumbangkan manfaat besar bagi keluarga, bangsa dan Negara.

Selamat Hari Kartini, selamat berjuang perempuan Indonesia.

#Demak,21042021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun