Oleh: Fatkhul Manan
Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Fenomena flexing semakin ramai mewarnai media sosial dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini merujuk pada perilaku seseorang yang memamerkan kekayaan, prestasi, gaya hidup, atau hal-hal lain yang dianggap membanggakan diri mereka di ruang publik digital. Di balik unggahan foto mewah, barang bermerek, atau pencapaian pribadi, flexing menjadi simbol ekspresi diri sekaligus upaya membangun citra di hadapan banyak orang.
Bagi sebagian orang, flexing bukan sekadar ajang pamer. Di era digital yang serba terhubung, tindakan ini kerap menjadi sumber emosi positif. Validasi berupa jumlah likes, komentar pujian, atau peningkatan jumlah pengikut bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan, yang pada akhirnya berdampak baik bagi kesejahteraan psikologis individu. Tak heran jika perilaku ini kian menjamur, khususnya di platform seperti Instagram.
Namun, flexing tidak semata-mata lahir dari dorongan individu. Di balik foto-foto liburan mewah atau gaya hidup glamor, terdapat dinamika sosial yang lebih jauh. Fenomena ini berkaitan erat dengan kondisi masyarakat modern yang ditandai oleh renggangnya relasi antarindividu serta melemahnya peran institusi tradisional seperti keluarga atau komunitas.
Dalam konteks sosiologi, flexing dipahami sebagai bagian dari proses individualisasi. Artinya, individu semakin dituntut untuk menampilkan identitas dan pencapaiannya secara mandiri, tanpa terlalu bergantung pada struktur sosial yang dulu lebih kuat. Media sosial menjadi ruang utama untuk membangun dan menunjukkan identitas diri itu.
Di permukaan, flexing sering kali dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Siapa saja dapat menunjukkan sisi terbaik dirinya ke hadapan dunia maya. Namun kebebasan itu ternyata tidak sepenuhnya bebas. Terdapat bentuk kontrol baru yang bersifat halus dan tidak selalu disadari oleh para penggunanya.
Kontrol tersebut hadir melalui mekanisme surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan. Konsep ini menjelaskan bagaimana perusahaan teknologi besar memanfaatkan data perilaku pengguna untuk memperoleh keuntungan. Dengan sistem algoritma yang kompleks, perilaku pengguna secara perlahan dikondisikan agar terus terlibat dan memproduksi data secara aktif.
Dalam kondisi ini, perilaku flexing sendiri sebenarnya tidak lepas dari rekayasa sistem digital. Melalui algoritma, fitur, dan desain platform media sosial, pengguna secara tidak langsung diarahkan untuk terus berbagi, memperbarui, dan memamerkan diri. Dengan kata lain, flexing ikut menjadi bagian dari kepentingan industri digital yang lebih besar.
Dilema kemudian muncul. Di satu sisi, individu merasa memiliki ruang untuk menunjukkan siapa dirinya. Namun di sisi lain, pilihan-pilihan mereka sudah dibatasi dan diarahkan oleh sistem kapitalisme pengawasan. Setiap unggahan atau interaksi yang terjadi menjadi bagian dari ekosistem yang secara halus mengontrol perilaku mereka.